Koalisi Masyarakat Sipil Kedua Kalinya Somasi Presiden Jokowi, Desak Pertanggungjawaban atas Rusaknya Demokrasi

Jakarta, 7 Maret 2024 – Pasca Somasi Pertama kepada Presiden Joko Widodo pada 9 Februari 2024 lalu oleh puluhan organisasi masyarakat sipil dan individu, belum ada respon dan upaya korektif dari Istana untuk berkomitmen memperbaiki situasi demokrasi secara keseluruhan. Kesewenang-wenangan justru makin menjadi dan penyelenggaraan Pemilu pun makin carut-marut menjelang pengumuman hasil pada 20 Maret 2024 nanti.

Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari 41 Organisasi dan 10 individu yang bergerak di bidang Hak Asasi Manusia (HAM), Demokrasi, Lingkungan, Anti-Korupsi, Perburuhan, Kebudayaan dan sektor lainnya hari ini melayangkan somasi kedua kepada Presiden Joko Widodo atas dasar atas segala bentuk praktik ketidaknetralan dan keculasan sehingga berimplikasi pada buruknya praktik demokrasi serta etika kepemimpinan. Rangkaian pelanggaran dan ketidaknetralan bahkan seakan didiamkan, padahal telah nyata menunjukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Pada somasi pertama lalu, maaf kepada seluruh rakyat atas keculasan dan tindakan nir-etika yang dilakukan menjelang Pemilu 14 Februari 2024. Sayangnya, langkah korektif tersebut tak kunjung dilakukan, kendati rangkaian perbuatan telah merusak tatanan demokrasi dan hukum. Dugaan masyarakat pun akhirnya terbukti, pasangan yang didukung oleh Presiden secara tidak pantas, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menang lewat versi quick count dengan angka yang cukup signifikan. Padahal kemenangan tersebut berangkat dari rentetan peristiwa intervensi kekuasaan yang mencederai demokrasi.

Berbagai peristiwa culas menjelang Pemilu lalu misalnya ditunjukan dengan pernyataan terbuka Presiden untuk melakukan politik cawe-cawe hingga penggunaan kekuasaan negara untuk kepentingan politik Presiden termanifestasi pada diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang uji materi syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden. Putusan ini akhirnya menjadi dasar meloloskan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka untuk maju dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2024.

Belum lagi, tindakan Presiden yang seakan-akan membiarkan kesewenang-wenangan seperti halnya Menteri yang berkampanye dengan menggunakan fasilitas negara, politisasi bansos atau penggunaan perangkat/instrumen sosial kenegaraan untuk tujuan politik elektoral, hingga intimidasi terhadap pihak-pihak yang melakukan kritik kaitannya dengan kepemiluan.

Kami beranggapan bahwa berbagai fenomena yang melibatkan Presiden Joko Widodo mengganggu nurani kenegaraan yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi pasca rezim otoritarianisme orde baru, mencabik-cabik kehidupan demokratis, hingga menimbulkan perpecahan di tengah-tengah masyarakat. Sebagai kepala negara, Presiden dianggap sebagai otoritas dan kompas moral bangsa, sehingga Presiden harus mengedepankan etika kepemimpinan yang bersih, jujur, mengupayakan persatuan dan kesatuan dan menjamin tata kelola negara yang adil dan memihak kepada kepentingan publik dan keadilan sosial.

Indikasi kecurangan bahkan menjadi-jadi pasca Pemilu dilangsungkan, salah satunya dengan dugaan penggelembungan suara salah satu partai yang dipimpin langsung oleh anak Presiden Jokowi. Selain itu, Pemilu 2024 pun dipenuhi oleh kekacauan portal informasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap). Kekacauan sistem yang dibangun oleh penyelenggara Pemilu ini berakibat pada kekisruhan meluas dalam penghitungan suara dan berpotensi dimanfaatkan untuk melakukan praktik kecurangan.

Terbaru, Presiden malah  memberikan kenaikan pangkat kehormatan Jenderal (HOR) bintang empat kepada Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto. Gelar ini tidak pantas diberikan mengingat yang bersangkutan memiliki rekam jejak buruk dalam karir militer, khususnya berkaitan dengan keterlibatannya dalam pelanggaran berat HAM masa lalu. Pemberian gelar tersebut lebih merupakan langkah politis transaksi elektoral dari Presiden Joko Widodo yang menganulir keterlibatannya dalam pelanggaran berat HAM masa lalu. Hal ini kian menguatkan bahwa Jokowi merupakan Presiden yang culas dan tidak mengerti konsep etika.

Berdasarkan hal tersebut di atas, dengan ini koalisi masyarakat sipil MENSOMASI Presiden Joko Widodo untuk dan dalam tempo TUJUH HARI sejak surat somasi diterbitkan untuk:

  1. Meminta maaf kepada seluruh rakyat atas keculasan dan tindakan nir-etika yang dilakukan selama proses Pemilu;
  2. Menghentikan tindakan kesewenang-wenangan, menggunakan kekuasaan, menghalalkan segala cara untuk mengakselerasikan kepentingan politik Presiden beserta keluarga dan kelompoknya;
  3. Memberikan sanksi yang tegas kepada seluruh bawahannya yang terlibat dalam berbagai kecurangan dan ketidaknetralan seperti halnya Menteri, aparat TNI-Polri hingga ASN;
  4. Meminta perangkat negara seperti halnya Bawaslu sebagai pengawas Pemilu untuk mengusut tuntas dan adil seluruh kecurangan yang terjadi serta disampaikan kepada publik;
  5. Melakukan pemberhentian kepada Ketua KPU Republik Indonesia karena terbukti telah terindikasi melanggar kode etik dalam pelaksanaan fungsi dan tugas yang mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi penyelenggara Pemilu.

Bahwa apabila Presiden tidak mengindahkan surat somasi ini, maka kami siap untuk mengambil langkah hukum baik lewat mekanisme administratif, perdata atau pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Koalisi Masyarakat Sipil 

 

YLBHI, KontraS, PBHI, Imparsial, Lokataru Foundation, Aliansi Jurnalis Independen, Safenet, Walhi Eknas, HRWG, Greenpeace, Pusaka Bentala Rakyat, ELSAM, JATAM, LBH Jakarta, Trend Asia,  Indonesia Corruption Watch, ICEL, Themis Indonesia, KASBI, Centra Initiative, Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL), Lamongan Melawan, Rumah Pengetahuan Amartya, Walhi Jawa Timur, Yayasan Pikul, Social Movement Institute, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Efek Rumah Kaca, Migrant CARE, Yayasan Cahaya Guru, SETARA Institute, Lembaga Pers Mahasiswa Didaktika, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Arus Pelangi, Federasi Pelajar Jakarta , Federasi Pelajar Bekasi, Forum Anomali, Jarum Demokrasi. The Institute for Ecosoc Right, Lembaga Pengembangan Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia, KontraS Aceh

 

Individu

Suciwati, Linda Christanty, Wahyu Susilo, Lini Zurlia, Yati Andriyani, Usman Hamid, Khamid Istakhori, Bivitri Susanti, Feri Amsari, Fatia Maulidiyanti