Disrupsi Supremasi Sipil di Indonesia: Dampak dan Resiko Penempatan TNI-Polri di Jabatan Aparatur Sipil Negara untuk Demokrasi

Upaya pemerintah dalam menyusun dan mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) menuai sorotan dan kritik dari berbagai elemen masyarakat sipil. RPP itu sendiri merupakan “aturan turunan” dari UU No. 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang sedari awal telah menuai kritik karena salah satunya memberi ruang bagi jabatan sipil untuk diduduki oleh anggota TNI/Polri aktif.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menganggap diiberinya ruang kepada TNI-Polri aktif untuk menempati posisi dalam jabatan ASN dianggap sebagai langkah yang dapat menghidupkan kembali konsep Dwifungsi ABRI ala Orde Baru dan mengembalikan peranan angkatan bersenjata dalam kehidupan sipil masyarakat. Hal ini dianggap dapat mengurangi profesionalitas kedua lembaga tersebut, yang seharusnya fokus pada tugas pertahanan negara dan keamanan masyarakat. Penempatan TNI-Polri sebagai ASN juga dapat memperburuk situasi yang sudah kompleks, terutama terkait dengan masih lekatnya kultur kekerasan pada institusi pertahanan dan keamanan dan semakin menyiratkan bahwa terdapat inferioritas sipil dari militer  dalam pengelolaan pemerintahan di Indonesia. Revisi UU ASN yang memperbolehkan hal ini dianggap sebagai langkah mundur dalam reformasi sektor keamanan dan dapat memperkuat campur tangan militer dalam urusan sipil dan politik.

Dibukanya ruang bagi TNI-Polri menempati jabatan ASN dianggap problematik dan dapat menimbulkan kekaburan (obscuur) hukum dan disharmonisasi penerapan hukum serta mengakibatkan gangguan pada skema pembangunan tata kelola pemerintahan demokratis khususnya mekanisme pertanggungjawaban etik dan penegakan hukum, karena baik TNI maupun Polri memiliki mekanisme penegakan kode etik yang berbeda dengan ASN dari kalangan sipil. Pada sisi lain yurisdiksi penegakan hukum TNI juga secara khusus diatur oleh Peradilan militer, sehingga jika anggota TNI yang ditempatkan dalam jabatan ASN melakukan tindak pidana jabatan akan timbul kekacauan dalam upaya penegakan hukum yang dilakukan.

Lebih lanjut, langkah tersebut juga dianggap sebagai upaya pemerintah untuk menyelesaikan masalah perwira tinggi non-job dengan cara yang tidak tepat, mengingat masih terdapat ratusan perwira menengah dan perwira tinggi non-job maka dikhawatirkan bahwa UU ASN dan RPP turunannya dijadikan sebagai mekanisme untuk mensimplifikasi persebaran perwira non-job, tanpa mengevaluasi dan memperbaiki akar permasalahannya.

Langkah untuk mendorong integrasi sipil – militer dalam tata kelola pemerintahan akan menyebabkan dilanggarnya prinsip kedaulatan sipil dalam mendorong pembentukan kebijakan publik. Tatanan politik dalam demokrasi, menempatkan militer tanpa memiliki jangkauan peran dalam politik. Pembagian kewenangan antara sipil dan militer tidak boleh dilanggar, karena apabila sipil masuk ke dalam ranah manajemen internal TNI akan terjadi politisasi militer. Sebaliknya, apabila militer merambah memasuki wilayah otoritas sipil akan mengakibatkan campur tangan militer dalam urusan politik.

Lebih lanjut, wacana tersebut juga akan mengacaukan reformasi birokrasi yang ingin dibangun melalui pola karier yang berbasis meritokrasi serta berpotensi mengganggu fungsi utama ASN sebagai pelaksana kebijakan dan pelayanan publik.

Atas dasar uraian di atas,  kami mendesak:

Pertama, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk menghentikan pembahasan dan rencana pengesahan Rancangan Peraturan Pemerintah terkait tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara yang membolehkan TNI-Polri aktif menduduki jabatan instansi sipil;

Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dalam hal ini Komisi II untuk segera melakukan penjajakan terhadap kemungkinan revisi ulang terhadap Pasal 19 ayat (2) UU Aparatur Sipil Negara yang memperkenankan jabatan tertentu dapat diisi oleh unsur TNI atau Polri.  Selain itu, Komisi I yang menjadi mitra pengawas dari institusi TNI dan Komisi III yang menjadi mitra dari Polri pun harus turut menolak wacana penempatan TNI-Polri aktif pada jabatan ASN lewat RPP Manajemen Sipil Negara;

Ketiga, Panglima TNI dan Kapolri untuk menyelesaikan berbagai masalah institusi seperti halnya menumpuknya jumlah perwira non-job dengan mengevaluasi sistem jabatan di tubuh institusi TNI dan Polri;

Keempat, TNI dan Polri untuk tetap profesional menjalankan tugas dan mandatnya di bidang pertahanan dan keamanan sebagaimana ditentukan oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan.

 

Jakarta, 22 Maret 2024
Badan Pekerja KontraS

Dimas Bagus Arya, S.H
Koordinator

 

Klik disini untuk melihat Catatan Kritis Selengkapnya