Cabut Keputusan Presiden Pangkat Jenderal Kehormatan dan Penuhi Hak Korban

Sehari berselang setelah peringatan Hari Internasional untuk Hak Atas Kebenaran dan Martabat Korban Pelanggaran Berat HAM (International Day for the Right to the Truth concerning Gross Human Rights Violations and for the Dignity of Victims) atau dikenal dengan ‘Hari Kebenaran Internasional’ yang diperingati setiap tanggal 24 Maret, Keluarga korban Penghilangan Paksa 1997-1998, Paian Siahaan (ayah dari Ucok Munandar Siahaan) dan Hardingga (anak dari Yani Afri) bersama dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas mengajukan keberatan atas Surat Keputusan Presiden RI (Keppres) Nomor 13/TNI/Tahun 2024 tertanggal 21 Februari 2024 tentang Penganugerahan Pangkat secara Istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo Subianto sebagai upaya desakan kepada Negara untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat korban pelanggaran HAM yang berat serta pemenuhan hak atas kebenaran dan keadilan menurut Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor A/RES/64/290 yang diadopsi pada 23 Maret 2010.

Sebelumnya, pada 28 Februari 2024, Presiden Joko Widodo telah menganugerahi pangkat kehormatan Jenderal TNI kepada Menteri Pertahanan RI, Prabowo Subianto, melalui Keputusan Presiden Nomor 13/TNI/Tahun 2024. Penganugerahan pangkat kehormatan ini diklaim atas usulan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto dan dalam keterangannya pemberian pangkat ini didasarkan pada Pasal 33 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Namun sebaliknya, merujuk pada informasi yang diterima dari PPID Kementerian Sekretariat Negara RI melalui surat jawaban permohonan informasi publik Nomor B-20/S/Humas/HM.00.00/03/2024 tertanggal 18 Maret 2024, ditemukan fakta bahwa penganugerahan pangkat tersebut bukan merupakan bagian dari Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan sebagaimana pernyataan Panglima TNI selaku pemberi usul.

Ketidaksesuaian informasi ini menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai dasar hukum pemberian pangkat Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo Subianto. Keputusan Presiden tersebut seharusnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang mengatur lebih spesifik mengenai postur, organisasi, struktur, tugas pokok, dan kewenangan TNI, termasuk di dalamnya mengenai pangkat dan kenaikan pangkat. Namun jika merujuk Undang-Undang tersebut, pangkat dalam TNI hanya dapat diberikan kepada prajurit atau kepada warga negara yang diperlukan dan bersedia menjalankan tugas jabatan keprajuritan tertentu di lingkungan TNI (tituler) sebagaimana diatur pada ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang TNI. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 62/ABRI/1998, Prabowo Subianto diberhentikan dari dinas keprajuritan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan hak pensiun pada akhir November 1998. Sejak saat itu, Prabowo Subianto telah menjadi purnawirawan. Oleh karena itu, Surat Keputusan Presiden Nomor 13/TNI/Tahun 2024 tentang Penganugerahan Pangkat Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo Subianto tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang TNI yang hanya berlaku untuk prajurit TNI yang masih aktif.

Selain itu, dalam Undang-Undang TNI juga tidak terdapat frasa “pangkat secara istimewa” melainkan frasa “pangkat penghargaan”. Berdasarkan prinsip yang sama, aturan pemberian pangkat penghargaan juga hanya mengatur mengenai pemberian kenaikan pangkat penghargaan diberikan kepada prajurit TNI menjelang akhir dinas keprajuritan karena telah melaksanakan pengabdian secara sempurna dan tanpa terputus dengan dedikasi dan prestasi kerja yang tinggi sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 27 ayat (2) huruf b. Lebih lanjut, pengaturan teknis mengenai pangkat penghargaan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit Tentara Nasional Indonesia melalui penjelasan Pasal 27 ayat (2) huruf b pada intinya menjelaskan bahwa kenaikan pangkat penghargaan paling cepat 3 (tiga) bulan dan paling lambat 1 (satu) bulan sebelum pensiun. Dengan demikian, Keputusan Presiden terkait penganugerahan pangkat Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo Subianto bertentangan dengan ketentuan tersebut karena yang bersangkutan telah menjadi purnawirawan sejak akhir November 1998 akibat diberhentikan dari dinas keprajuritan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62/ABRI/1998 karena keterlibatannya dalam sejumlah pelanggaran maupun kejahatan seperti kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998.

Presiden juga dinilai tidak cermat mempertimbangkan secara komprehensif mengenai segala aspek yang berkenaan dengan pemberian pangkat kehormatan kepada Prabowo Subianto. Mulai dari tidak adanya landasan hukum yang jelas dalam penganugerahan pangkat kehormatan maupun dampak pelanggaran hak korban pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Penghilangan Paksa Periode 1997-1998. Penganugerahan pangkat terhadap seseorang yang diduga terlibat kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997-1998 tersebut justru memberikan ruang terjadinya praktik impunitas. Lebih lanjut, dikeluarkannya Keputusan Presiden tersebut jelas tidak menunjukkan kepekaan Presiden RI Joko Widodo terhadap prinsip hak asasi manusia dan bertentangan dengan janji Presiden Joko Widodo dalam Nawacitanya untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran berat HAM di Indonesia sejak kampanye Pemilihan Umum di tahun 2014 lalu, serta komitmen pidato pengakuan serta penyesalannya atas 12 kasus pelanggaran HAM berat pada 11 Januari 2023 karena seseorang yang harusnya dimintai pertanggungjawaban terhadap keterlibatan kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997-1998 justru dianugerahi pangkat kehormatan Jenderal TNI bintang empat oleh Presiden melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 13/TNI/Tahun 2024 tersebut.

Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Presiden untuk dapat mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mengedepankan penegakan hak asasi manusia dengan mencabut Surat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 13/TNI/Tahun 2024 tentang Penganugerahan Pangkat secara Istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan. Sebaliknya, Presiden beserta jajarannya harus melaksanakan rekomendasi Pansus DPR RI tahun 2009 untuk menyelesaikan kasus penghilangan paksa 1997-1998 dengan mengeluarkan Keputusan Presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc, mencari 13 orang korban yang masih hilang, merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang, dan meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia. Serangkaian penyelesaian kasus penghilangan paksa 1997-1998 tersebut harus dilakukan secara komprehensif demi perlindungan terhadap harkat dan martabat korban serta pemenuhan hak korban secara holistik.

Jakarta, 25 Maret 2024

Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas

Organisasi:

  1. Ikatan Keluarga Korban Orang Hilang Indonesia (IKOHI)
  2. KontraS
  3. YLBHI
  4. IMPARSIAL
  5. LBH Jakarta
  6. LBH Masyarakat
  7. AMAR Law Firm and Public Interest Law Office
  8. KontraS Aceh
  9. Paska Aceh
  10. Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP 65)
  11. Asia Justice and Rights (AJAR)
  12. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
  13. Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL)
  14. Social Movement Institute
  15. Aksi Kamisan Jogja
  16. Institut Demokrasi, Hukum dan HAM (Insersium)

Individu:

  1. Suciwati
  2. Edi Arsadad
  3. Syahar Banu