KontraS Luncurkan Kertas Posisi Terkait Permasalahan Intelijen dan Desak Unsur Pengawas Bekerja Serius Minimalisir Penyimpangan

28 Maret 2024 – Di tengah fenomena kemunduran demokrasi dan agenda reformasi sektor keamanan, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menerbitkan tinjauan kritis berupa kertas posisi yang diberikan judul Tuntaskan Segudang Problematika Akuntabilitas Intelijen. Dibandingkan dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), kerja-kerja badan intelijen seperti halnya Badan Intelijen Negara (BIN) memang yang paling sulit dijangkau oleh publik. Hal tersebut salah satunya karena intelijen memiliki keistimewaan dan memiliki karakteristik untuk bekerja dalam kerahasiaan.

Akan tetapi, berdasarkan beberapa kasus dan fenomena, kewenangan Badan Intelijen yang luas pada berbagai kesempatan disalahgunakan untuk kepentingan politik tertentu. Sebagai contoh ketika Presiden sebagai user dari informasi intelijen menggunakan perangkat dan kekuasaannya untuk memata-matai partai politik. Tindakan tersebut tentu merupakan indikasi penyalahgunaan dan bertentangan dengan desain intelijen profesional.

Dalam agenda diskusi publik ini, hadir pula Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Abdul Haris Semendawai dan Peneliti Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Diandra Megaputri Mengko yang turut menanggapi kertas posisi yang telah diluncurkan oleh KontraS.  Dalam paparannya Dimas Bagus Arya, selaku Koordinator KontraS menyebut bahwa “Kami sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil di Indonesia yang terus konsisten mendorong agenda reformasi sektor keamanan dan tegaknya nilai demokrasi menganggap penting bahwa penyelenggaraan intelijen mutlak tunduk pada prinsip-prinsip dasar seperti halnya kewargaan (citizenship), akuntabilitas (accountability), partisipasi (participation), dan good governance.”

Pada sisi lain, sering juga ditemukan kasus digunakannya Badan Intelijen untuk melakukan tugas yang berada di luar fungsi intelijen. Pelibatan BIN untuk melakukan sosialisasi R-KUHP menjadi contoh digunakannya lembaga intelijen untuk melakukan tugas pemerintah yang seharusnya menjadi porsi Kementerian di bidang Hukum. Begitupun ketika pemerintah memasifkan pelibatan BIN dalam penanganan COVID-19, terkesan ada disproporsionalitas mengingat BIN tidak ditujukan untuk melakukan sosialisasi dengan metode door to door. Dalam beberapa kasus, BIN memang dapat dilibatkan, tetapi perangkat-perangkat intelijen terkesan digunakan untuk mengekang kebebasan sipil dan mencegah kelompok kritis bersuara seperti halnya pada agenda besar kenegaraan G-20 dan saat muncul demonstrasi besar pada proses pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Masalah penunjukkan Kepala BIN yang terkesan sangat politis dan minimnya akuntabilitas dalam pengadaan alat intelijen juga tak kalah krusial. Jika Pemerintah ingin mendesain BIN sebagai Badan Intelijen yang profesional maka penunjukkan Kepala BIN seharusnya dijauhkan dari kepentingan politik dan dilakukan dengan berdasarkan merit system. Merujuk pendapat Sherman Kent yang menekankan pada independensi intelijen, analis intelijen harus menjaga jarak dengan pembuat kebijakan untuk menjaga objektivitas produk intelijen agar terhindar dari preferensi politik user. Pada sisi lain akuntabilitas harus menjadi perhatian serius yang diutamakan seperti halnya pengadaan alat untuk melakukan aktivitas surveillance.

Rangkaian permasalahan intelijen seperti langkah penyalahgunaan ditambah penggunaan yang tidak transparan menimbulkan kecurigaan besar. Kekhawatiran tersebut tentu beralasan melihat rentetan dan menumpuknya permasalahan intelijen khususnya berkaitan dengan akuntabilitas. Dalam negara demokrasi yang membuka luas partisipasi guna memfasilitasi kritik atau suara dari masyarakat, penggunaan intelijen secara berlebihan dan tak akuntabel tentu akan sangat berbahaya. Penggunaan instrumen intelijen sebagaimana disampaikan Presiden seperti halnya untuk melakukan surveillance terhadap partai politik dan terkadang mengantisipasi demonstrasi dengan skala besar sejalan dengan tujuan penggunaan intelijen dalam negara otoritarian atau bahkan totalitarian. Di bawah pemimpin otoritarian, hak individu diabaikan, karena tujuan intelijen adalah untuk menjamin kelangsungan rezim dan penindasan oposisi.

Potensi penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran HAM tersebut dapat dengan mudah terjadi mengingat besarnya wewenang yang diberikan oleh undang-undang pada Badan Intelijen dan minimnya pengawasan terhadap Badan Intelijen. Saat ini, secara normatif, terdapat setidaknya empat aktor pengawas yakni Presiden (Eksekutif), Dewan Perwakilan Rakyat/DPR (Legislatif), Pengadilan Negeri (Yudikatif), dan kepala masing-masing badan intelijen (Internal). Akan tetapi unsur-unsur pengawasan tersebut terkesan disfungsional dan tak efektif.

Lewat kertas posisi ini KontraS pun memberikan sejumlah rekomendasi kepada berbagai pihak dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Salah satunya kepada DPR RI sebagai organ pengawas eksternal. “Dalam hal kontrol yang dilakukan parlemen sebagai kerangka pengawasan eksternal, DPR RI harus memaksimalkan kerja-kerja pengawasan terhadap BIN dan lembaga lain yang memiliki fungsi intelijen. DPR RI khususnya Komisi 1 sebagai representasi publik harus menggunakan hak dan alat kelengkapannya seperti halnya RDP untuk meminta pertanggungjawaban kinerja badan-badan tersebut. DPR RI pun harus bertindak proaktif meneliti potensi penyalahgunaan dan menyeret kembali Intelijen agar bekerja sesuai koridor kenegaraannya.” Ujar Dimas.

 

Jakarta, 28 Maret 2024
Badan Pekerja KontraS

 

Dimas Bagus Arya
Koordinator