Komite HAM PBB Soroti Pelanggaran HAM Berat di Indonesia, Pemerintah Indonesia Wajib Menghentikan Rantai Impunitas!

Komite HAM PBB telah mengeluarkan dokumen hasil observasi dan rekomendasi (concluding observation) perihal situasi HAM di Indonesia melalui komponen yang tertuang dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) pada 28 Maret 2024. Dokumen tersebut menyimpulkan isu-isu yang telah dipersidangkan pada 11 – 12 Maret 2024 di Jenewa mulai dari isu impunitas dan pelanggaran HAM berat masa lalu, kekerasan di Papua, penyempitan ruang sipil, bisnis dan HAM, pelanggaran dalam proses pemilu, penyiksaan, hukuman mati, independensi peradilan, korupsi, hingga gender dan diskriminasi.

Pada salah satu catatannya, komite menggarisbawahi rantai impunitas yang masih terjadi di Indonesia akibat pola kekerasan oleh aparat keamanan terhadap masyarakat sipil. Pola tersebut dapat dilihat dari maraknya eksekusi pembunuhan di luar jalur hukum (extrajudicial killing), penghilangan paksa, serta kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang tak kunjung tuntas penyelesaiannya melalui jalur pengadilan. Beberapa kasus yang diangkat adalah pembunuhan berencana Munir Said Thalib, kasus penghilangan paksa pada mahasiswa demonstran 1997-1998, pembunuhan masyarakat adat Paniai pada 2014, kuburan massal korban pembantaian 1965 – 1966, kekerasan dan pembunuhan di luar jalur hukum yang kerap terjadi pada masyarakat adat Papua, kekerasan referendum Timor Leste 1999, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh 2003, dan nihilnya pemulihan efektif pada korban dan keluarga korban serta jalur non-yudisial (PPHAM) yang digunakan sebagai salah satu mekanisme penuntasan pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.

KontraS beranggapan bahwa laporan tersebut mencerminkan ketidakseriusan pemerintah Indonesia dalam menghentikan rantai impunitas di Indonesia. Dalam setiap forum internasional, Pemerintah Indonesia kerap melakukan pembelaan yang tidak berdasarkan pada fakta dengan mengklaim praktik demokrasi yang terus maju dan membaik. Tak luput juga pemerintah Indonesia mengagung-agungkan konsep penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM masyarakat sipil yang tertuang dalam Hukum HAM Internasional. Padahal, hal tersebut sangat berbanding terbalik dengan fakta lapangan dimana kekerasan kerap menjadi senjata bagi aparat keamanan dan penegak hukum terhadap masyarakat sipil dimana hal ini terkesan dinormalisasi.

Data pemantauan KontraS menunjukkan, sebanyak 7 kasus kekerasan aparat keamanan terhadap masyarakat sipil di  Papua ditemukan selama awal 2024. Bentuk kekerasan berupa penganiayaan, penembakan, penangkapan sewenang-wenang, dan penyiksaan membuktikan kentalnya kultur kekerasan pada institusi TNI dan Polri. Kultur ini juga dapat digambarkan melalui 49 kasus kekerasan pada 2023 dimana 41 masyarakat sipil dinyatakan meninggal dan 67 masyarakat sipil terluka. Belum lama Polri juga menuturkan wacana untuk menempatkan 10.000 personel di Papua dimana kondisi penempatan berlebih memperburuk iklim ketakutan yang dirasakan oleh masyarakat di Papua. Namun, melirik kembali pada pernyataan pemerintah Indonesia pada sidang ICCPR, pemerintah tidak mengakui adanya pola militerisasi di Papua.

Penuntasan kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu pun disepelekan. Sebab, Presiden Joko Widodo menghentikan langkahnya dalam mendorong penyelesaian pelanggaran dalam wujud narasi ‘penyesalan’ seperti yang disampaikannya di Istana Merdeka pada 11 Januari 2023 dimana ia mengakui 12 kasus pelanggaran HAM Berat. Akan tetapi, dengan dibentuknya Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) menggores harapan keluarga korban untuk memperoleh keadilan yang sepantasnya. Pemerintah Indonesia seolah melupakan landasan hukum berupa UU No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM sebagai mandat atau kewajiban untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM Berat sebagai salah satu hal yang dapat memulihkan korban dan keluarga korban serta memperoleh keadilannya.

Kekalnya impunitas dan lemahnya akuntabilitas pemerintah Indonesia terhadap korban dan keluarga korban dapat ditinjau melalui empat kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang telah diadili, namun pelaku dinyatakan bebas. Empat kasus tersebut yakni Tanjung Priok, Timor Timur, Abepura, dan Paniai. Kosongnya landasan hukum internasional yakni Kovenan Internasional Anti-Penghilangan Paksa (ICPPED) pun memudahkan akses para pelaku melanglang buana dan menuntut dirinya agar bisa ditempatkan sebagai pejabat publik.

Meninjau elaborasi di atas, KontraS mendesak:

  1. Kementerian Luar Negeri Indonesia untuk mendorong dan berkoordinasi terkait hasil observasi dan rekomendasi Komite HAM PBB kepada seluruh kementerian dan lembaga yang bersangkutan
  2. DPR RI untuk mendorong ratifikasi kovenan internasional yang bersangkutan dengan hasil observasi Komite HAM PBB seperti Kovenan Internasional Anti-Penghilangan Paksa (ICPPED), Protokol Opsional untuk ICCPR (OP-ICCPR), dan Protokol Opsional untuk Konvensi Anti-Penyiksaan (OP-CAT)
  3. Komnas HAM untuk segera menuntaskan investigasi kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu termasuk pembunuhan berencana Munir Said Thalib yang sudah lama tertunda tanpa alasan untuk penguluran waktu.

Jakarta, 30 Maret 2024

 

Dimas Bagus Arya
Koordinator KontraS

 

Narahubung: (082114183845)