32 Konflik Horizontal Terjadi Sepanjang 2012, 28 Nyawa Melayang

JAKARTA – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat setidaknya ada 32 konflik horizontal terjadi sepanjang 2012, di luar peristiwa-peristiwa persekusi (serangan dari suatu kelompok mayoritas-identitas) terhadap kelompok (identitas) minoritas dan tawuran antar-pelajar atau mahasiswa.

Dalam siaran pers, Senin (26/11), diterangkan, konflik horizontal sepanjang 2012 telah menyebabkan 28 korban jiwa dan 200 korban luka serius. Jumlah tersebut, belum mencakup kerugian material lainnya, seperti kerusakan harta benda atau kerugian non-material seperti kondisi psikis mereka yang menjadi korban.

Dari konflik sosial dengan nuansa ketegangan komunal sepanjang 2012, pihak yang terlibat umumnya teridentifikasi sebagai anggota suatu komunitas berbasis teritorial seperti kampung, dusun, atau kelurahan meski juga sebagian masalahnya juga tumpang tindih dengan identitas sosial, budaya (etnis maupun sub-etnis), dan sedikit kepentingan politik seputar proses pilkada.

Pemicu-pemicu lain yang muncul adalah kegagalan komunikasi akibat dari sengketa wilayah (adat) dan lahan, ketiadaan dan ketidak puasan dalam penegakan hukum oleh negara terhadap peristiwa-peristiwa kriminal (mabuk, kebut-kebutan), beredarnya pesan-pesan provokatif, dan dendam-dendam konflik lama.

Dilihat dari wilayah kejadian Provinsi Sulawesi Tengah menjadi yang terbanyak (15 kejadian), diikuti oleh Papua (enam kejadian), Lampung dan Aceh (masing-masing lima kejadian), dan Kalimantan Timur pada bentrok di Barong Tongkok, Kutai Barat terakhir.

Dari 32 angka konflik dan kekerasan di atas, alat kekerasan yang kerap digunakan adalah alat tradisional seperti panah dan parang. Alat lainnya adalah senjata yang cukup modern dan membahayakan seperti bom dan senjata api rakitan. Akibat dari tindakan-tindakan ini selalu identik dengan dua hal, harta benda akibat pembakaran dan perusakan, dan korban manusia, nyawa dan luka-luka.

Yang meresahkan, sebagian besar kejadian-kejadian tersebut sebenarnya merupakan letupan ketegangan yang telah terpendam sebelumnya. Di wilayah Sulawesi Tengah misalnya, pada tahun 2012 ini di Kabupaten Sigi telah terjadi bentrok warga berkali-kali. Sementara bentrok warga di Lampung dan Kalimantan Timur dengan latar belakang identitas etnis telah terjadi bertahun-tahun sebelumnya. Demikian pula konflik komunal di Papua.

Dalam perspektif hak asasi manusia, negara di segala tingkatannya, memiliki kewajiban untuk melindungi (duty to protect) setiap warganya dari ancaman perampasan hak oleh pihak lain, termasuk warga atau anggota kelompok sosial lain di masyarakat. Untuk memenuhi kewajiban ini negara harus mengambil langkah preventif dengan menggunakan segala aparatur dan instansinya – baik itu birokrasi sipil maupun aparat penjaga keamanan – untuk meredam ketegangan komunal, baik dengan melakukan pemetaan potensi konflik atau pendekatan rekonsiliasi di akar rumput. Di lain pihak, negara juga punya kewajiban korektif pasca-terjadinya konflik sosial yang berujung pada kekerasan dengan memastikan adanya penegakan hukum bagi pelaku yang bertanggung jawab maupun program pemulihan bagi korban.

Sejauh ini, KontraS menilai antisipasi dan penanganan pasca-konflik oleh negara begitu tidak memadai; seperti jarangnya terjadi pendekatan langsung para pejabat negara ke komunitas akar rumput; absennya penegakan hukum sehingga tidak ada penegakan hukum alias efek jera bagi para pelaku maupun pihak lain. Juga, upaya yang menjadi standar penyelesaian umumnya lebih bersifat simbolik dan tidak diikuti oleh upaya memelihara rekonsiliasi dan perdamaian yang lebih ajeg namun memakan waktu.

Lebih celaka lagi, berbagai kebijakan justru tumpang tindih dan tidak akur. Pertama, interpretasi negara melalui UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (UU PKS) lebih banyak menitikberatkan pada aktivitas penghentian konflik, dengan memobilisasi kekuatan sektor keamanan secara masif, khusus bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI (Pasal 12 huruf d).

Meskipun dalam UU PKS juga disinggung tentang pentingnya membangun sistem deteksi dini konflik (Pasal 10 dan 11), namun pemerintah nampaknya luput pula dalam memaksimalkan upaya sistem deteksi dini yang komprehensif dan signifikan untuk mengelola dinamika sosial politik yang khas di masing-masing wilayah Indonesia.

Sebab itu, harus ada evaluasi serius mengapa antisipasi dan mekanisme koreksi penanganan konflik sosial tidak efektif: Apakah menyangkut ketiadaan aturan normatif? Ketiadaan koordinasi antar-institusi negara? Ketiadaan sumber daya dan kapasitas personel negara yang minim? Atau faktor yang lain sehingga akuntabilitas negara bisa terwujud?