Semanggi Masih Gelap

Jakarta, Kompas – Hingga hari ini, selama 13 tahun kasus yang dikenal sebagai Tragedi Semanggi II (23-24 September 1999) belum mencapai titik terang. Berkas penyelidikan hanya berpindah dari institusi satu ke institusi lain. Penegakan hukum yang berlarut-larut menciptakan kepedihan akut.

Dalam konferensi pers yang digelar keluarga korban, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Minggu (23/9) di Jakarta, terungkap, baru pekan lalu Yap Pit Sing (65), ayah dari Yap Yun Hap, korban Semanggi II, dikabarkan meninggal dengan memendam kekecewaan akibat ketidakpastian hukum.

"Yap Pit Sing setiap hari selalu menyesalkan penegakan keadilan HAM hingga akhirnya sakit dan meninggal dunia," kata Ho Kim Ngo, istri Yap Pit Sing, sambil menangis di hadapan wartawan. Suaminya selalu memikirkan kasus anaknya yang hingga kini belum diketahui pasti.

Keluarga Yun Hap tidak bisa menerima penegakan hukum yang timpang. "Beliau selalu berpesan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus adil dalam penegakan hukum tanpa pandang bulu," kata Ho Kim Ngo.

"Kakak saya direnggut secara paksa, tewas diterjang peluru. Sudah 13 tahun berlalu kasusnya, tetapi hingga kini tak mendapat kepastian hukum, malah Ayah meninggal dunia karena memikirkan kasus ini," kata Ling Ling, adik Yun Hap.

Yun Hap adalah mahasiswa Teknik Elektro Fakultas Teknik UI yang tewas diterjang peluru aparat ketika berunjuk rasa di Semanggi pada 24 September 1999. Mahasiswa angkatan tahun 1996 ini meninggal menentang Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya.

Patriot Muslim dari BEM Universitas Indonesia yang ditugasi membacakan pernyataan pers mengungkapkan, hingga kini berkas penyelidikan yang diserahkan Komnas HAM ke Jaksa Agung pada 29 April 2002 belum juga ditindaklanjuti ke penyidikan. "Sebuah fenomena janggal dan ironis, 10 tahun diendapkan tanpa kepastian, akses korban untuk mendapatkan keadilan makin kabur," katanya.

"Dalam konteks penegakan hukum selama 13 tahun terakhir, kita bisa ambil kesimpulan bahwa selama delapan tahun SBY berkuasa, hanya memindah-mindahkan berkas," kata Harry Azhar, Koordinator Kontras.

Secara terpisah, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menyatakan, Presiden hanya menggunakan isu-isu HAM sebagai alat untuk pencitraannya di luar negeri. Padahal, tidak ada kemajuan mendasar dalam penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu dan penegakan HAM dalam isu-isu aktual di dalam negeri.

Dalam konferensi pers, Minggu itu, hadir Direktur Eksekutif Elsam Indriaswati Dyah Saptaningrum dan Deputi Direktur Pengembangan dan Sumber Daya HAM Zainal Abidin yang dipandu Wahyudi Djafar.

"Dibanding presiden-presiden setelah Reformasi, Yudhoyono adalah satu-satunya presiden tanpa inisiatif penegakan HAM," kata Zainal. Hal itu kontradiktif dengan pencitraan penegakan HAM yang berusaha ditegakkan Indonesia di internasional.

Ada berbagai parameter penting tidak pedulinya penegakan HAM di Indonesia. Sejak 2004 tidak ada satu pun pengadilan HAM ad hoc digelar. "Presiden sebagai pemegang peranan paling besar harus segera mengambil langkah," kata Zainal.

"Jangan tunda-tunda lagi dengan alasan konteks politik," kata Indah. (AMR/EDN)