Mahkamah Agung Dinilai Ikut Merekayasa

JAKARTA, KOMPAS.com – Putusan Mahkamah Agung yang menolak permohonan kebebasan terdakwa Sun An dan Ang Ho yang mengalami rekayasa dalam kasus dugaan pembunuhan dinilai melanggengkan kekerasan dan rekayasa hukum yang dilakukan aparat.

"Sepatutnya MA menunda proses hukum ini mengingat ada banyak kejanggalan dan pelanggaran hak asasi manusia," kata Koordinator Kontras Haris Azhar, Minggu (4/11).

Dalam konferensi pers itu juga hadir Sie Kim Tui, istri terdakwa Sun An, dan Suyatno anak Sun An, didampingi Edwin Partogi, kuasa hukum Sun An dan Ang Ho. Baik Sun An maupun Ang Ho mengalami penyiksaan dan pemaksaan dalam pemeriksaan polisi atas kasus pembunuhan pasangan Kwito dan Dora Halim pada 29 Maret 2011.

Polisi memaksakan keterangan agar keduanya mengaku sebagai pelaku dan otak pembunuhan. Selain itu, juga terjadi pemerasan berkali-kali. "Di persidangan tidak ada hasil uji balistik. Semua berdasarkan keterangan terdakwa yang waktu diperiksa disiksa biar mengaku," kata Edwin Partogi.

Menurut dia, kasus ini aneh karena diputus hanya satu bulan oleh tiga hakim yang punya tunggakan perkara dua tahun.

Sie Kim Tui menceritakan, dia tidak hanya dipaksa untuk memberikan uang pada polisi sebagai penyidik. Seorang anggota penyidik bahkan juga mengambil ATM dan meminta nomor PIN serta menguras tabungannya hingga Rp 70 juta. Sie Kim Tui telah melapor ke Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, tetapi tidak mendapat tanggapan.

"Suami saya disiksa sampai pagi. Setiap malam mulut dan mata ditutup, lalu diikat tangan dan kaki, terus dipukuli," ujar Sie Kim Tui. Hal sama diceritakan Suyatno yang mempertanyakan kenapa polisi memaksa ayahnya mengaku dan bukan mencari pelaku sebenarnya.

Haris menyatakan, pihaknya akan melapor ke Komisi Yudisial dan meminta institusi seperti Dewan Pertimbangan Presiden, Ombudsman, Komnas HAM, Propam Polri, dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan mengeluarkan rekomendasi agar bisa dijadikan novum oleh kuasa hukum dalam meninjau kembali perkara. (EDN)