Anjloknya Komitmen Ham Pemerintah Kita di Masa Pemerintahan Populis Jokowi

Anjloknya Komitmen Ham Pemerintah Kita di Masa Pemerintahan Populis Jokowi

Jelang sepekan menuju penyelenggaraan Putaran Ketiga Evaluasi Periodik Universal Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations 3rd Cycle Universal Periodic Review) atas kinerja pemenuhan, pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia yang akan diselenggarakan pada 3 Mei 2017 di Jenewa, masyarakat sipil Indonesia yang tergabung antara lain Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Asia Justice for Rights (AJAR), Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), Papua Resource Center, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Jaringan Anti Tambang (JATAM), Pusat Studi HAM Universitas Airlangga telah menyerahkan laporan situasional hak asasi manusia di Indonesia. Di mana laporan situasional tersebut mencakup situasi-situasi HAM yang muncul pada rentang periode 2012 hingga 2016.

UPR merupakan mekanisme akuntabilitas global yang unik. Mekanisme ini berada di bawah struktur Dewan HAM PBB, di mana mekanisme ini sesungguhnya adalah medium yang bisa digunakan oleh 193 negara untuk meningkatkan kualitas HAM di negaranya masing-masing. Dalam kesempatan ini, kami telah memasukkan tidak kurang dari 9 laporan, dengan tema-tema khusus sebagai berikut: Keadilan Transisi dan Situasi Impunitas di Indonesia, Situasi Anti Penyiksaan, Situasi HAM dan Keamanan Papua, Situasi Anti Hukuman Mati, Situasi Kebebasan-Kebebasan Fundamental (termasuk di dalamnya kebebasan berekspresi, menyatakan pendapat, berkumpul, berasosiasi dan meyakini agama/kepercayaan), Situasi Penikmatan Hak atas Tanah, Agenda Pembangunan dan Keadilan, Situasi Anti Terorisme, dan Situasi Pembela HAM di Indonesia.

Dalam laporan-laporan kami, perbaikan situasi dan kondisi HAM yang berangkat dari rekomendasi putaran kedua UPR ditahun 2012, kami memantau bahwa ada sejumlah peningkatan kualitas dan respons atas mandeknya situasi HAM di Indonesia, seperti langkah ratifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran, keberlanjutan pelatihan dan pendidikan aktor-aktor keamanan, hingga pembentukan Rencana Aksi HAM Nasional. Namun demikian, ada situasi yang nampak berjalan biasa, seakan ‘dinormalkan’ dan tidak mendapatkan respons cepat pada kondisi-kondisi penghormatan dan perlindungan HAM;

sebagaimana yang terjadi pada eksekusi mati yang mulai diperkenalkan kembali di masa terakhir kepemimpinan SBY hingga Jokowi telah menggunakannya untuk memperkuat retorika memerangi narkotika, skandal kejahatan yang terfasilitasi oleh aktor keamanan dalam bisnis obat terlarang, vonis pengadilan yang masih belum berpihak pada standar-standar penegakan hukum dan HAM (lihat kasus Yusman Telaumbanua, atau kasus-kasus yang berdimensi penyiksaan), situasi HAM di Papua yang tidak kunjung pulih (meski Jokowi nampak mulai mendandani Papua dengan pendekatan pembangunan, langkah membebaskan tahanan politik, bahkan membuka pintu luas ketika Pelapor Khusus PBB untuk urusan Hak atas Kesehatan meninjau situasi di Papua). Selain itu, kita juga masih menyaksikan kondisi sektor keamanan yang tidak taat hukum (penyiksaan yang angka dan tekniknya kian canggih, kasus Cebongan, situasi di wilayah konflik yang juga memiliki unsur penanganan terorisme seperti di Poso dan Papua).

Dalam laporan Kementerian Luar Negeri dinyatakan bahwa pemerintah telah berhasil menyelamatkan 71 WNI dari hukuman mati, termasuk telah mengeluarkan uang lebih dari 92 milyar dalam konteks diyat, kompensasi antar negara dan lain sebagainya. Tindakan memberikan perlindungan hak asasi kepada pekerja migran Indonesia juga tidak bisa diklaim sepihak sebagai sebuah bentuk keberhasilan, apabila ‘upaya penyelamatan’ yang diikuti dengan besarnya anggaran negara tidak segaris lurus dengan prinsip perlindungan HAM yang universal dan non diskriminasi, sebagaimana diterapkan pada diplomasi luar negeri dan kebijakan nasional. Apabila prinsip dari diplomasi Indonesia menekankan pada ‘action speak louder than words’ maka hal yang sama juga harus dibangun pada logika HAM yang universal ini.

Situasi jaminan kebebasan fundamental juga tidak kunjung membaik dan mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Isu ekspresi seksual, kebebasan berekspresi, beropini, berkumpul dengan damai, hingga kualitas jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia kian mendapatkan ancaman. Kita lihat persekusi panjang yang dialami GKI Yasmin, Filadelfia, Jamaah Ahmadiyah, hingga penggunaan isu penistaan agama untuk Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Jaminan perlindungan terhadap pembela HAM juga rentan untuk tidak mendapatkan perhatian negara. Kekerasan dan teror sepanjang 4 tahun terakhir, tidak hanya dialami oleh pekerja HAM dan kemanusiaan di sektor kebebasan sipil; namun juga sudah merambah di isu keadilan pembangunan, ekonomi, akses tanah dan lain sebagainya. Makna hak asasi yang terkait satu sama lain kemudian diputus sepihak oleh Pemerintah Indonesia jika pembangunan yang dirancang ternyata anti HAM, termasuk anti pegiat kemanusiaan.

Untuk situasi penanganan tindak pidana terorisme, selain perebutan lapak mandat penindakan teroris antara Polri dan TNI, kami tidak melihat adanya mekanisme koreksi yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan ketika suatu operasi tindak pidana terorisme dilakukan. Penanganan Poso hingga kematian Siyono adalah fakta bahwa aparat penegak hukum kita masih amat amatir dan anti evaluasi ketika ditagih dengan ukuran HAM.

Pada agenda keadilan transisi, pekan lalu juru bicara Kementerian Luar Negeri menyatakan bahwa “At least we keep the issue alive” dengan menekankan bahwa semua mekanisme hukum dan politik sudah berada di tempatnya untuk merespons penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Namun faktanya, langkah Jokowi yang menyerahkan penyelesaian kepada Menkopolhukam melalui jalur rekonsiliasi hingga agenda diam-diam membahas Dewan Kerukunan Nasional yang ingin menurunkan derajat ‘pelanggaran HAM yang berat’ setingkat konflik sosial, diikuti dengan klik-klik kepentingan antara Polkam dengan Komnas HAM berujung pada terkatung-katungnya ruang keadilan korban. Bagaimana bisa membuat isu keadilan transisi menjadi hidup dan terus mendapatkan perhatian apabila Jokowi menyerahkan penyelesaian kepada sosok Wiranto yang namanya disebut dalam banyak laporan penyelidikan pro-yustisia Komnas HAM sebagai salah satu figur yang harus bertanggung jawab terhadap praktik pelanggaran HAM yang berat sesuai dengan UU No. 26/2000?

Sebagai tambahan, pada penyelenggaraan UPR putaran ketiga ini evaluasi Indonesia juga akan dilakukan nyaris berbarengan dengan beberapa negara yang memiliki masalah serius HAM, seperti Afrika Selatan, Brazil, dan Filipina. Setidaknya ketiga negara tersebut memiliki situasi HAM yang serius dan kian memburuk. Indonesia di bawah administrasi Jokowi memang tengah dipandang memiliki posisi prestisius dan jauh lebih baik, termasuk jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Namun posisi bergengsi tersebut (yang sempat membuat Indonesia duduk di Dewan HAM hingga tahun 2016) tidak banyak membawa perubahan di rumahnya sendiri, apalagi di kawasan. Slogan ‘unity and centrality of ASEAN’ sebagai pengayaan dari prinsip konsensus dan non-intervensi di kawasan ini juga harus mulai dikaji dan dievaluasi dengan serius. Jangan sampai semangat untuk menjunjung tinggi persatuan di kawasan ASEAN kemudian mengabaikan kondisi-kondisi HAM. Termasuk dalam memberikan masukan penting pada mekanisme-mekanisme global seperti UPR ini.

Rekomendasi UPR yang akan diberikan kepada Pemerintah Indonesia, hendaknya harus menjadi ukuran primum atas perbaikan kualitas perlindungan HAM di tanah air. Perbaikan-perbaikan tersebut juga akan menjadi modalitas Indonesia untuk mendorong perubahan karakter pemerintahan dan gaya memimpin di kawasan Asia Tenggara, ketika populisme tengah menguat, namun tidak diikuti dengan penerapan prinsip HAM yang baik. Posisi Indonesia masih memainkan peran sentral dalam membangun kekuatan kawasan Asia Tenggara yang jauh lebih baik, termasuk dalam mempromosikan agenda keamanan dan perdamaian di kawasan yang dapat juga dicontoh di kawasan lainnya.

 

 

Jakarta, 26 April 2017

 

Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Universal Periodic Review

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Asia Justice for Rights (AJAR), Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), Papua Resource Center, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Jaringan Anti Tambang (JATAM), Pusat Studi HAM Universitas Airlangga