Quo Vadis Komnas HAM Aceh

Quo Vadis Komnas HAM Aceh

 

Pertengahan tahun 2007 ini, Indonesia telah memiliki sebelas
anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Mereka adalah
’pendekar HAM’ baru yang akan bertugas untuk periode
2007-2012. Mereka rata-rata berusia muda, memiliki prestasi
cemerlang dalam pergulatan advokasi HAM di tanah air.
Keangotaan Komnas HAM kali ini berbeda jauh dengan komposisi
anggota pada dua periode sebelumnya yang didominasi oleh
purnawirawan dan bekas birokrat. Paling tidak, latar belakang
para ’pendekar HAM’ baru ini merupakan modal awal bagi Komnas
HAM baru untuk memperjuangkan kemajuan HAM di Negara ini.

Komnas HAM merupakan lembaga negara yang dibentuk atas dasar
UU No.39/1999 dengan tujuan, ”Mengembangkan kondisi yang
kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan
Pancasila, Undang-undang 1945 dan piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa, serta deklarasi universal hak asasi manusia,
sekaligus melakukan peningkatan perlindungan dan penegakan hak
asasi manusia". (BAB VII pasal 75 point a dan b).

Dukungan lain untuk mendorong pencapaian tujuan di atas,
pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi konvensi
internasional tentang anti penyiksaan dan perlakuan tidak
manusiawi maupun tindakan kejam lainnya yang merendahkan
martabat manusia (CAT), Konvensi Anti Diskriminasi terhadap
Perempuan (CEDAW), Konvensi Hak Anak (CRC), dan Konvensi anti
diskriminasi rasial. Lalu pada 2005 Indonesia juga telah
mensahkan kovenan induk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)
tentang hak-hak ekonomi sosial dan budaya, serta kovenan
hak-hak sipil dan politik dalam undang-undang nasional.

Fakta yuridis diatas merupakan kemajuan besar yang dicapai
negara ini dalam ranah hak asasi manusia. Namun untuk
menyimpulkan sejauh mana instrumen HAM telah berdampak
signifikan terhadap perubahan kehidupan rakyat di daerah,
tentu harus ditakar dengan fakta empiris terhadap kejahatan
HAM yang terjadi saban waktu, sekaligus membandingkannya
dengan peran lembaga berwenang itu dalam merespon pelanggaran
HAM yang selama ini terjadi di Aceh.

Peran Komnas HAM di Aceh
Suatu kali sahabat penulis yang pernah melakukan perjalanan
dinas dengan Komnas HAM paska perdamaian menceritakan tentang
perilaku seorang warga ketika melihat stiker Komnas HAM yang
melekat pada lambung sebuah mobil Kijang. Kendaraan itu
diparkir di halaman mesjid Simpang Keramat, Aceh Utara:
”Komnas HAM.. Komnas HAM.. baroe, uroenyoe troeh gata, baro
wate jipoeh-poeh hoe keuh?." (Komnas HAM..Komnas HAM.. baru
hari ini tiba kemari, dulu waktu kami di pukul-pukul kemana
aja kalian).

Pada hari yang lain, penulis menyaksikan seorang ibu beranak
tiga menjumpai staf Komnas HAM Kantor perwakilan Aceh. Ibu
tersebut sesungguka mengadukan kekerasan rumah tangga yang
dialaminya. Terlihat Staf Komisi tampak cukup berempati ketika
mendengar keluh-kesah sang ibu. Belakangan, pengaduan yang
disampaikan sang ibu itu berhasil membebaskan hidupnya dari
belenggu kekerasan rumah tangga yang dialaminya selama
bertahun-tahun.

Kedua kisah diatas mengingatkan penulis bahwa betapa
pentingnya kehadiran Komnas HAM Kantor perwakilan Aceh sesuai
UU No. 39/1999 pasal 76 (4) itu sendiri. Namun pertanyaanya
adalah; sejauh manakah fungsi dan efektifitas lembaga ini
dalam perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Aceh?
Sebab, sejauh Komnas HAM belum memiliki prestasi gemilang
dalam mendorong kemajuan, penegakan dan penghormatan hak asasi
manusia di bumi Aceh yang terkenal subur sebagai daerah
pelanggaran HAM. Akankah dengan terpilihnya sebelas ’pendekar
HAM’ baru pada September ini bisa dijadikan momentum tepat
untuk menakar kembali keberadaan Komnas HAM? Dan inilah
beberapa pertanyaan pun muncul; Pertama, sejak Komnas HAM
berdiri di Aceh, sampai saat ini belum satupun warisan
pelanggaran HAM terjadi sebelum 1999 diselesaikan menggunakan
mekanisme HAM yang ada. Kedua, kaburnya proses penyelesaian
terhadap beberapa temuan kasus pelanggaran HAM berat oleh KPP
Komnas HAM diantaranya; kasus Bumi Flora, pembunuhan aktifis
NGO Rata, dan beberapa temuan pelanggaran HAM pada masa
darurat militer oleh Tim adhoc Pemantauan Darurat Militer
Komnas HAM. Ketiga, ketidakberdayaan Komnas HAM dalam
mengontrol arah kebijakan pemerintah yang kontraproduktif
dengan penciptaan kondisi yang kondusif bagi pemajuan HAM di
Aceh atau kelemahan Komnas HAM untuk mereduksi dampak dari
kebijakan tersebut terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia,
seperti penerapan status darurat militer dan darurat sipil di
Aceh.

Mandulnya peran Komnas HAM di Aceh dicurigai akibat menguatnya
isu separatisme di Aceh yang berdampak pada politisasi atas
isu-isu HAM oleh pemerintah pusat, sehingga penyelesaian
kasus-kasus pelanggaran HAM hanya dikemas dalam kebijakan yang
bersifat sogokan politik, seperti memberikan status-status
khusus untuk Aceh yang mengaburkan dimensi penyelesaian HAM
itu sendiri atau pengalihan isu lainya sehingga isu HAM tidak
vital lagi.

Selain itu, tingginya angka pelanggaran HAM yang terjadi di
Aceh dari waktu ke waktu ditambah ‘tunggakan’ kasus
pelanggaran HAM masa lalu, diyakini sebagai penyumbang
munculnya sikap setengah hati para komisioner Komnas HAM dalam
menindaklanjuti temuan dan pengaduan dari masyarakat. Apalagi,
beberapa hasil penyelidikan yang telah rampung dikerjakan
Komnas HAM justru kandas pada tingkat penyidikan oleh
kejaksaan.

Revitalisasi Komnas HAM Aceh
Beberapa provinsi telah membentuk perwakilan Komnas HAM.
Pembentukannya berdasarkan pasal 76 (4) UU No 39 Tahun 1999.
Namun masing-masing memiliki status berbeda, sesuai peraturan
tata tertib Komnas HAM Indonesia. Sebut saja terbentuknya
perwakilan Komnas HAM Papua, Komnas HAM Sumatera Barat, Komnas
HAM Kalimantan Barat yang cuma memiliki kewenangan
berlandaskan pada UU No. 39/ 1999 yang didelegasikan oleh
Komnas HAM.

Ini berbeda dengan Aceh dan Palu. Kedua daerah rawan konflik
ini hanya mendirikan Kantor Perwakilan Komnas HAM. Kedua
kantor perwakilan ini tak lebih dari perpanjangan tangan
Komnas HAM pusat di Jakarta . Kewenangan kantor ini amat
terbatas, sekedar menjalankan fungsi teknis administratif.
Sedangkan fungsi lainnya–sebagaimana yang diatur dalam
undang-undang HAM– hanya dapat dilaksanakan berdasarkan
penugasan yang diputuskan dalam sidang paripurna Komnas HAM
Indonesia.

Sebelas orang anggota Komnas HAM Indonesia periode 2007-2012
dengan latar belakang yang beragam tentu tidak efektif untuk
menjalankan amanah perundang-undangan HAM. Meski diperkuat
oleh staf pendukung yang handal dan profesional sekalipun.
Soalnya, kewenangan penting dalam penyelidikan HAM tetap
berada di tangan sang komisioner, dan hasil pemantauan
terhadap pelanggaran HAM hanya dapat ditindaklanjuti atas
rekomendasi sidang paripurna Komnas HAM.

Disamping itu, melihat sepak terjangnya di masa lalu, Komnas
HAM juga tidak efisien dan boros anggaran ketika harus
bolak-balik Aceh-Papua-Sulawesi atau daerah rentan pelanggaran
HAM lainnya. Apalagi hanya sekedar untuk menjalankan fungsi
pemantauan, mediasi, penyuluhan dan penelitian HAM.

Merujuk pada masalah diatas, sudah seharusnya keberadaan
Kantor Perwakilan Komnas HAM Aceh diperluas wewenangnya.
Sehingga lebih produktif dalam penegakan dan perlindungan HAM
di Aceh yang konon merupakan daerah dengan tingkat pelanggaran
HAM tertinggi di Indonesia .

Selain itu, peningkatan status Komnas HAM di Aceh juga
berhubungan erat dengan pembentukan pengadilan HAM, seperti
yang diamanatkan dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh.
Mengingat fungsi penyelidikan atas kasus-kasus pelanggaran HAM
berat– sebagaimana yang diatur UU No.26 Tahun 2000–
merupakan kewenangan mutlak dari Komnas HAM.

Untuk jangka pendek, masyarakat Aceh dapat mendorong
peningkatan status Kantor Perwakilan Komnas HAM Aceh menjadi
Perwakilan Komnas HAM Aceh yang menjalankan fungsi berdasarkan
UU No 39/1999. Cita-cita yang lebih tinggi adalah mendorong
terbentuknya Komisi HAM daerah yang memiliki kewenangan
seperti Komnas HAM Pusat. Meski yang terakhir ini akan memakan
waktu dan melelahkan. (HenF – www.acehinstitute.org)

 

29 Okt 2007

Hendra Fadli

Kepala Bidang Operasional KontraS Aceh