KASUS KEKERASAN DI SIRA-RAKAN HARUS DIKLARIFIKASI

Banda Aceh, Kompas
Jatuhnya banyak korban saat masyarakat akan ke Banda Aceh menghadiri pelaksanaan Sidang Raya Rakyat Aceh untuk Kedamaian (Sira-Rakan) memprihatinkan banyak pihak. Komnas HAM Perwakilan Aceh mencatat 30 tewas, dan 62 lainnya luka pada periode tanggal 7-11 November.

Pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) hari Kamis (16/11) menyatakan, Pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab dan memberi klarifikasi atas kasus itu. Kantor Perwakilan Komnas HAM Aceh juga memanggil Kapolda Aceh Brigjen (Pol) Chaerul R Rasyidi untuk klarifikasi kasus tersebut, namun yang bersangkutan tak datang.

"Kami sangat kecewa, Kapolda tak hadir. Padahal surat resmi sudah diserahkan ke Mapolda, tetapi konfirmasi kehadirannya pun tak disampaikan," kata Iqbal Faraby, Kepala Perwakilan Komnas HAM Aceh. Dia mengatakan surat pemanggilan Kapolda telah disampaikan Selasa 14 November yang lalu. Menurut seorang staf di Mapolda, Kapolda saat ini berada di Jakarta.

Iqbal mengatakan, untuk selanjutnya Perwakilan Komnas HAM Aceh akan berkoordinasi dengan Komnas HAM di Jakarta. Koordinasi itu antara lain untuk membicarakan kemungkinan bisa ditingkatkan status prosedural menjadi penyelidikan dan pemeriksaan pro justicia.

Sementara itu, Sofyan Ibrahim Tiba, anggota Komite Bersama Modalitas Keamanan (KBMK) mewakili Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyatakan sangat prihatin dengan jatuhnya korban di pihak rakyat dalam beberapa hari terakhir. Oleh karena itu pula, GAM mengeluarkan pernyataan yang meminta ditundanya pembicaraan substansi politik dengan Pemerintah Indonesia di Swiss, 16-17 November. "GAM berharap adanya satu klarifikasi tentang hal ini, mengapa rakyat ditembak sedemikian rupa," katanya.
 
Menahan diri
Sementara Tim Jeda Kemanusiaan (GAM dan RI) yang terdiri atas Komite Bersama Modalitas Keamanan (KBMK), dan Komite Bersama Aksi Kemanusiaan (KMAK), serta tim monitoring kedua komite mengeluarkan satu pernyataan pers bersama, Kamis (16/11) petang.

Pernyataan itu lebih bersifat imbauan untuk aparat keamanan Indonesia dan pihak GAM agar menahan diri dari aktivitas yang menimbulkan ketegangan dan kekerasan di tengah masyarakat. Kepada pengusaha angkutan bus dan truk juga diminta untuk melaksanakan aktivitas mereka seperti biasa.

Arus angkutan barang dan penumpang yang selama beberapa hari terakhir lumpuh di Aceh, sejak Kamis sudah lancar kembali. "Sebenarnya sudah sejak Rabu (15/11) sejumlah angkutan beroperasi, tetapi belum semuanya," kata Kamaruddin THB, Ketua Organda Aceh.

Menurut pemantuan hari Kamis, terminal bus antarprovinsi di Seutiu Banda Aceh sudah ramai. Begitu juga terminal bus antarkota di Beurawe, Banda Aceh. Bahkan banyak penumpang yang tak mendapat tiket karena ramai-ramai penumpang yang ingin kembali ke daerahnya setelah mengikuti Sira-Rakan. 
 
Masih perlu
Mantan Menteri Negara Urusan HAM Hasballah M Saad, Kamis, mengatakan, meskipun pelaksanaan Jeda Kemanusiaan Kedua terbilang buruk karena kekerasan terjadi di mana-mana dan banyak korban jatuh, Jeda Kemanusiaan masih diperlukan. Jeda Kemanusiaan jangan dilihat sebagai tujuan untuk menyelesaikan soal Aceh karena ruang lingkupnya memang sangat terbatas. Justru dengan adanya Jeda Kemanusiaan itu, upaya dialog untuk menyelesaikan soal Aceh harus lebih intensif dilakukan, dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat Aceh, bukan hanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Pandangan senada disampaikan Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munarman. Menurut dia, kesempatan Jeda Kemanusiaan pertama yang sudah cukup baik tidak segera diikuti dengan upaya dialog yang mendalam dan menyeluruh dengan seluruh komponen masyarakat Aceh, karena pemerintah masih saja menganut pendekatan yang sentralistik, menentukan usulan penyelesaian dari Jakarta secara sepihak. Hasballah pada kesempatan itu juga meminta agar Aceh jangan dijadikan ajang uji coba. Untuk itu, sikap pemerintah harus jelas. "Terhadap soal referendum,
misalnya, sudah pasti jawabannya pasti tidak boleh. Kalau tidak boleh, lalu apa yang boleh? Apa yang boleh ini yang sekarang belum dikomunikasikan kepada pihak yang ingin merdeka itu. Saya usul, apa pun idenya, apakah darurat sipil, darurat militer, atau operasi militer untuk menumpas, itu harus keputusan dengan kepala dingin," ujarnya.

Di Jakarta, Menteri Pertahanan Mohammad Mahfud Mahmuddin, kembali menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menarik pasukan TNI dan Polri dari Aceh. Sebab, kalau pasukan ditarik, daerah tersebut akan semakin kacau dan menjadi chaos.    

Mahmud MD mengatakan hal itu menjawab pertanyaan pers setelah bertemu Wapres Megawati Soekarnoputri di rumah dinas Wapres. Sebelum bertemu Menhan, Wapres juga bertemu dengan mantan Menhankam Pangab L.B Moerdani dan pengusaha Johannes Kotjo.

Di tempat terpisah, juru bicara kepresidenan, Wimar Witoelar, mengatakan Presiden Abdurrahman Wahid direncanakan akan ke Aceh tanggal 22 November 2000, untuk menyaksikan pelantikan Gubernur Aceh yang baru, Abdullah Puteh. 

Berlomba dengan waktu
Sementara Ketua MPR Amien Rais, Rabu, di Aceh, mengatakan bahwa masalah Aceh masih dapat diselesaikan. Meskipun pemerintah pusat harus berlomba dengan waktu dan memerlukan kesungguhan serta komitmen pemerintah pusat harus segera dibuktikan. Apalagi, suasana obyektif di Aceh sudah begitu mencekam.

Menanggapi tuntutan pelaksanaan referendum di Aceh, Amien Rais mengatakan bahwa itu tetap merupakan jalan terakhir. Jika nanti sudah dilaksanakan Nanggro Aceh Darussalam (NAD), tetap saja tidak bisa berhasil dan mengecewakan rakyat Aceh, barulah berbicara referendum. (nj/oki/gun/mam)