Penolakan DPR Bentuk Pengadilan Ad Hoc HAM Undang Reaksi Keras

Laporan Wartawan Kompas Wisnu Dewabrata

JAKARTA, KOMPAS–Penolakan mayoritas fraksi di dalam DPR untuk mengungkap kasus Trisakti, Semanggi I dan II, serta Kerusuhan Mei 1998 mendapat reaksi keras dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pemerhati penegakan hak asasi manusia (HAM).

Sejumlah LSM saat ditemui terpisah menilai penolakan DPR membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc dengan berbagai alasan itu, selain menunjukkan ketidakpahaman juga memperlihatkan ketidakpekaan DPR terhadap upaya penegakan HAM , terutama bagi para keluarga korban.

"Sejak awal memang tidak ada yang berniat serius, entah dari DPR apalagi eksekutif. Hasil rapat Badan Musyawarah DPR kemarin itu menunjukkan ’wajah’ DPR sebenarnya, yang memang tidak punya kemauan dan niat menuntaskan kasus ini," ujar Haris Azhar dari Kontras.

Menurut Haris, semua pihak yang terlibat dan seharusnya berkewajiban menuntaskan semua kasus tadi punya "cara" yang berbeda-beda justru untuk menjadikan masalah ini buntu dan tidak selesai.

"Kejaksaan Agung caranya dengan menafsir-nafsirkan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc, Presiden dengan cara ’berdiam diri’, Komnas HAM dengan mencoba mau menginternasionalisasi, nah kalau DPR dengan cara memperumit dan memolitisasi  prosedur," ujar Haris.

Menurut Haris, sikap standar ganda atau muka dua DPR juga tampak saat berada di Komisi III, dengan terkesan bersikap "manis" dan akomodatif terhadap para korban dan keluarganya, sementara saat berada di tingkat lain seperti Bamus DPR mereka "menelikung" para korban pelanggaran HAM.

Tidak kedaluarsa 

Saat ditemui di tempat terpisah, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Patra M Zen, juga menyampaikan kekecewaannya. Dia menilai kondisi seperti sekarang ini menunjukkan pemerintah dan DPR belum demokratis dan menjunjung penegakan HAM.

"Sekarang harapannya tinggal menunggu ada perubahan dari pemerintahan dan DPR baru, yang terpilih hasil Pemilu mendatang. Hal itu karena pemerintahan sekarang sudah tidak bisa diharapkan lagi. Satu-satunya yang masih bisa kita harapkan, kasus pelanggaran HAM tidak akan pernah mengenal kedaluarsa," ujar Patra.