Pemerintah Harus Sistematis

Jakarta, Kompas – Tantangan di depan bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono adalah menjalankan pemerintahan secara sistematis, sesuai aturan, dan tertata baik. Masalah yang dihadapi pemerintah adalah masih menguatnya semangat sentralisasi.

Walaupun demikian, saat ini sistem desentralisasi dan otonomi daerah juga telah tumbuh. Oleh sebab itu, dibutuhkan dorongan dan kesempatan bagi aparat di daerah untuk terus tumbuh dan berkembang dengan leluasa. Namun, pemerintah harus mendisiplinkan aparat dan pemerintah daerah. Bila perlu, sanksi diberikan kepada aparat yang keliru, dan penghargaan bagi yang berprestasi.

Hal itu dipaparkan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, yang akan mengakhiri jabatannya pada 20 Oktober mendatang, saat ditanya terkait tantangan ke depan bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)- Boediono, di Istana Wapres, Jakarta, Rabu (19/8). Selasa lalu, Komisi Pemilihan Umum menetapkan pasangan SBY-Boediono sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2009-2014 (Kompas, 19/8).

”Jadi, tantangannya adalah bagaimana menjalankan itu semua dengan sistematis karena masalah yang muncul nantinya masih terkait semangat sentralistis yang dulu. Dibutuhkan dorongan dan kesempatan bagi aparat untuk menjalankan sistem,” ujar Kalla.

Dikatakan Kalla, ”Apabila masih ada masalah, pemerintah harus menjalankan dengan disiplin. Jalankan pemerintahan dengan sistematis.”
Menurut Kalla, tugas yang akan dihadapi Presiden Yudhoyono dan Wapres Boediono adalah menjalankan pemerintahan secara umum, mulai dari menjaga ketertiban masyarakat, juga memerhatikan kesehatan, pendidikan, dan pembangunan yang meliputi infrastruktur. ”Selebihnya, masyarakat sendiri yang menjalankannya,” ungkap Ketua Umum Partai Golkar itu.

Ditanya tentang efektivitas SBY-Boediono dalam menjalankan pemerintahan, Kalla mengatakan belum bisa menilainya. ”Nantilah. Mudah-mudahan bisa berjalan (keduanya). Saya kira itu bisa berjalan,” katanya lagi.

Ketegasan SBY
Dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman, secara terpisah, Rabu, saat dihubungi dari Jakarta, mengingatkan, ketegasan Yudhoyono pada masa pemerintahan keduanya menjadi tantangan terberat baginya jika ingin pemerintahannya berjalan lancar.

Ketegasan itu diperlukan untuk mengendalikan koalisi partai politik yang digalangnya agar tak berubah menjadi ”pengganggu” bagi dirinya sendiri.
”Pengalaman lima tahun sebelumnya menunjukkan ketidaktegasan SBY membuat parpol pendukungnya kerap melakukan manuver dengan mengambil sikap politik berbeda dengan yang digariskannya,” kata Airlangga.

Dalam pemerintahan sebelumnya, Yudhoyono justru lebih banyak mengakomodasi tuntutan partai pendukungnya. Hal itu membuat karakter pemerintahan presidensial menjadi hilang.

Semakin besar koalisi yang digalang akan semakin besar pula tarik-menarik kepentingan antarberbagai anggota koalisi. Kondisi ini lebih rumit lagi jika Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang menjadi pesaing Partai Demokrat dalam pemilu presiden-wapres turut bergabung dalam koalisi pemerintah.

Sebagai dua partai besar yang memiliki potensi menjadi oposisi, Golkar dan PDI-P bisa meminta kompensasi lebih atas bergabungnya mereka dalam koalisi. Kondisi ini bisa memicu kemarahan anggota koalisi yang telah berkoalisi sejak awal karena mereka juga merasa penting dalam mewujudkan kemenangan Yudhoyono.

”Jika SBY tidak bisa mengubah gaya kepemimpinannya serta mengambil tindakan dan putusan secara lebih cepat dan tegas, maka koalisi yang besar akan memperumit dirinya sendiri,” kata Airlangga lagi.

Terobosan politik
Di Denpasar, Bali, Selasa, Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fernida Alphasonny mengingatkan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu masih akan menjadi beban pemerintahan SBY-Boediono ke depan. Karena itu, pemerintahan SBY harus berani melakukan terobosan politik agar kasus pelanggaran HAM masa lalu itu bisa diselesaikan.

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu itu, kata Fernida, semata-mata demi terpenuhinya rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban. Apalagi, misalnya pada korban pelanggaran HAM di Aceh dan Papua, kini mereka hidup dalam kemiskinan.

Namun, Ketua Komisi Nasional (Komnas) HAM Ifdhal Kasim pada seminar tentang proyeksi penegakan hukum dan HAM pemerintahan 2009-2014 di Denpasar menyatakan, pemerintahan baru SBY-Boediono bukan jaminan untuk terselesaikannya kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Penyelesaian kasus itu lebih banyak ditentukan oleh tarik ulur politik di DPR.

”Memang saat debat calon presiden lalu, SBY menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu. Sekarang tinggal menunggu faktanya di lapangan. Kita lihat saja, sebab presiden sebelumnya, termasuk pada pemerintahan SBY sebelumnya, penyelesaian kasus HAM itu terasa sulit,” kata Ifdhal lagi.

Kasus pelanggaran HAM masa lalu yang tersisa antara lain kerusuhan Mei 1998, kasus Trisakti dan Semanggi, dan penghilangan orang. Ifdhal menyatakan, Komnas HAM menyerahkan hasil penyelidikan untuk ditindaklanjuti Kejaksaan Agung, tetapi selalu terhenti. (HAR/MZW/BEN)