Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras pernyataan Prabowo Subianto pada 28 Mei 2025 bahwa Indonesia "dapat mempertimbangkan" pengakuan terhadap kedaulatan Israel apabila entitas tersebut juga mengakui eksistensi negara Palestina. Sebab, pernyataan tersebut bertolak belakang dengan prinsip keadilan dan solidaritas kemanusiaan terhadap, menurut media Al Jazeera, lebih dari 54.000 nyawa warga Palestina dan sebagian besar yang menghadapi blokade bantuan kemanusiaan serta pengrusakan fasilitas kesehatan dan pendidikan. Lebih jauh, pernyataan instan tersebut mencederai sikap resmi pemerintah Indonesia melalui mantan Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, dalam berbagai forum internasional, yakni mendukung kemerdekaan penuh Palestina sebagai hak yang tidak dapat ditawar.

KontraS menilai bahwa pernyataan tersebut tidak hanya keliru secara moral dan politis, tetapi juga membahayakan posisi Indonesia dalam tatanan hukum internasional. Sebagaimana yang telah diputuskan oleh Mahkamah Internasional pada 19 Juli 2024, otoritas Israel telah melakukan kependudukan ilegal atas wilayah Palestina, dimana tindakan tersebut dilarang dalam Pasal 49 Konvensi Jenewa IV 1949 dan Resolusi Dewan Keamanan PBB, termasuk Resolusi 242 dan 338. Perlu diingat kembali bahwa pada 22 Februari 2024, Indonesia melalui mantan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi ikut serta memberikan opini hukum (advisory opinion) dalam gugatan Afrika Selatan pada Mahkamah Internasional di Den Haag dengan menggarisbawahi konsekuensi hukum yang dilanggar oleh Israel dan status hukum pendudukan Israel yang tidak sah dalam perspektif hukum internasional. Alhasil, pernyataan Prabowo Subianto melangkahi semangat posisi resmi Indonesia selama beberapa dekade terakhir terhadap kedaulatan dan kondisi kemanusiaan Palestina.

Lebih dari itu, terdapat tindakan tidak manusiawi otoritas Israel yang melakukan blokade bantuan kemanusiaan terhadap Kapal Madleen sekaligus penangkapan terhadap pembela HAM lingkungan Greta Thunberg beserta 11 aktivis lainnya dari 7 negara, serta seorang jurnalis Al Jazeera adalah bentuk pelanggaran serius terhadap Prinsip Dasar Hukum Humaniter Internasional. Ketentuan yang dilanggar tersebut khususnya sebagaimana termaktub dalam Pasal 70 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977 yang menyatakan bahwa bantuan kemanusiaan bersifat netral dan tidak memihak dan dilarang untuk dihambat oleh pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata, serta pasal 87 dan 90 Konvensi Internasional Hukum Laut (UNCLOS) terkait kebebasan navigasi. 

Pernyataan Prabowo Subianto yang membuka peluang pengakuan terhadap Israel tanpa syarat konkret atas penghentian kekerasan, pengakuan batas wilayah Palestina, dan penegakan hak asasi warga Palestina, jelas merupakan  pengabaian terhadap prinsip akuntabilitas dan keadilan atas kejahatan berat, termasuk kejahatan perang dan kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh otoritas Israel. Pernyataan ini menyesatkan publik seolah-olah diplomasi bisa mengesampingkan realitas penderitaan rakyat Palestina yang berlangsung sejak Peristiwa Nakba pada 1948.

KontraS juga menilai bahwa langkah mundur solidaritas pemerintah Indonesia terhadap Palestina dapat dilihat dari konsistennya hubungan kerjasama perdagangan yang dilakukan dengan Israel. Berdasarkan data yang dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS), dari Januari hingga Mei 2025, Indonesia melakukan kegiatan impor sebesar USD 13,187,366 dan ekspor sebesar USD 83,634,839 hingga menguntungkan neraca perdagangan Indonesia sebesar USD 70,447,473 atau sebesar Rp 1.377.432.006.840,75 (Satu triliun tiga ratus tujuh puluh tujuh milyar empat ratus tiga puluh dua juta enam ribu delapan ratus empat puluh rupiah). Hal ini pun menjadi bukti keras Indonesia yang terus membangkangi putusan Mahkamah Internasional Juli 2024 bahwa tidak boleh ada aktor negara yang diperbolehkan untuk mengakui, membantu, hingga mendukung situasi ilegal kependudukan Israel yang hubungan dagang yang menguntungkan otoritas Israel secara ekonomi, di tengah sistem pendudukan dan apartheid, adalah bentuk tidak langsung dari complicity (keterlibatan) terhadap pelanggaran hukum internasional.

Kegiatan ini juga mengkhianati semangat Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) sebagaimana diadopsi oleh berbagai negara dan organisasi masyarakat sipil global. Pemerintah Indonesia justru menunjukkan sikap sebaliknya dengan memberikan "jalur VIP" diplomatik kepada otoritas Israel untuk membangun normalisasi hubungan secara diam-diam, yang pada akhirnya mencederai solidaritas publik Indonesia terhadap perjuangan rakyat Palestina.

Berdasarkan pernyataan di atas, kami mendesak:

  1. Prabowo Subianto menarik kembali pernyataan 28 Mei 2025 mengenai pertimbangan Indonesia dalam mengakui kedaulatan Israel sebab pernyataan berbanding terbalik dengan semangat solidaritas yang telah dibangun selama beberapa dekade;

  2. Prabowo Subianto serta Kementerian Luar Negeri untuk menegaskan kembali posisi non-pengakuan (non-recognition principle) terhadap Israel atas dasar akuntabilitas yang belum dipertanggungjawabkan atas kejahatan kemanusiaan masyarakat Palestina;

  3. Prabowo Subianto serta Kementerian Luar Negeri untuk menghentikan retorika netral yang melegitimasi kejahatan seperti ‘pengakuan bersyarat’ yang dinyatakan oleh Presiden Indonesia pada Mei lalu;

  4. Prabowo Subianto, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Perdagangan untuk menghentikan segala bentuk kerjasama yang tengah dijalani dengan Israel atas dasar tidak adanya hubungan diplomasi dan tindakan yang mencerminkan pembangkangan terhadap semangat boikot masyarakat sipil Indonesia.


Jakarta, 9 Juni 2025

Badan Pekerja KontraS

 

Dimas Bagus Arya

Koordinator

Narahubung: Nadine (KontraS)

 

Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan