Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam tindak kekerasan yang diduga dilakukan oleh tujuh orang yang diduga merupakan prajurit TNI kepada korban yakni JD (38), MA (41), dan SL (41). Peristiwa ini terjadi di kawasan parkir Hypermart Tole Iskandar, Cilodong, Depok, Jawa Barat hari Sabtu tanggal 31 Mei 2025. Ketiadaan penghukuman terhadap para aparat pelaku kekerasan menyebabkan peristiwa serupa berulang, negara harus bertanggung jawab memberikan rasa keadilan bagi para korban.
Berdasarkan informasi yang kami himpun dari media, peristiwa terjadi sekitar pukul 18.00 bermula saat datangnya sejumlah pengunjung supermarket yang menggunakan kendaraan roda empat dan roda dua.1 Namun, laki-laki yang belum diketahui identitasnya menggunakan sepeda motor memarkirkan kendaraannya di bagian mobil, khususnya bagian lobi supermarket, meskipun telah disediakan tempat parkir untuk sepeda motor. Petugas keamanan supermarket berinisial JD kemudian menegur pria tersebut agar memindahkan kendaraannya ke tempat yang sudah ditentukan. Namun karena tidak terima, pria yang merupakan pengendara sepeda motor memainkan gas kendaraannya. JD kemudian kembali menegur dan meminta untuk meninggalkan area parkir. Pria tersebut langsung keluar dari area supermarket. Namun sebelum pergi meninggalkan area supermarket, pria tersebut sempat menantang petugas parkir dengan berucap “lu tunggu entar, gue bawa sekompi”. Selang 30 menit kemudian, datang sekitar 7 orang yang langsung menyerang korban dengan memukul bahkan salah seorang korban dihajar menggunakan conblock. Dua orang korban sempat kabur dan satu orang melawan. 2
Akibat pengeroyokan tersebut, tiga korban mengalami luka-luka. SL menderita luka di bibir, JD mengalami lebam pada hidung, mata kiri, dan lecet. Sedangkan MA menderita luka lebam pada mata kanan sampai tidak dapat melihat. Salah satu korban kemudian dirujuk ke RSUD Cibinong setelah dirawat di RS Primaya. Pasca peristiwa pemukulan tersebut, para pelaku pergi ke arah selatan atau Jalan BBM kemudian ke Markas TNI di Cilodong. Saat ini, kuasa hukum dari warga berinisial JD, MA, dan SL melaporkan kasus pengeroyokan yang dialami kliennya diduga dilakukan anggota TNI ke Polda Metro Jaya. Laporan itu diterima SPKT Polda Metro Jaya dengan nomor STTLP/B/1074/V/2025/SPKT/POLRES METRO DEPOK/POLDA METRO JAYA.3
Terhadap peristiwa tersebut, kami menilai bahwa hal ini menunjukkan adanya arogansi dan kesewenang-wenangan dari TNI. Dilakukannya pengeroyokan terhadap warga sipil dari terduga aparat TNI menunjukkan masih adanya anggota TNI yang menunjukkan arogansi di lapangan yang merupakan salah satu motif umum di balik kekerasan TNI yang sejatinya didasari oleh permasalahan sepele yang dapat diselesaikan secara rasional tanpa melalui cara-cara kekerasan. Kekerasan yang berakibat pada pelanggaran HAM tersebut tentu tidak sesuai dengan Jati Diri TNI sebagai tentara rakyat.
KontraS melihat bahwa tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI tersebut didasari atas perasaan tersinggung karena diminta untuk pindah dimana permintaan tersebut ditujukan kepada individu demi ketertiban tempat parkir. Namun alih-alih mendengarkan dan menyelesaikan masalah dengan memindahkan motornya, Pria tersebut malah mendatangkan TNI dan melakukan tindak kekerasan terhadap penduduk sipil. Indonesia merupakan negara yang telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Tortureand Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia) yang pada pokoknya mengatur pelarangan “penyiksaan” yang berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi, apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat pemerintah.
Selain itu, tindakan yang dilakukan oleh anggota TNI juga melanggar pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), dimana dalam Pasal 7 International Covenant on Civil and Political Rights dinyatakan bahwa tidak ada satu orang pun yang bisa dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia dalam keadaan apapun. Selain itu, dalam Pasal 33 (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, disebutkan “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya”. Kemudian dalam konteks aturan internal TNI, Apabila kita merujuk pada Peraturan Panglima (Perpang) yakni PERPANG/45/VI/2010 tentang Doktrin Tentara Nasional Indonesia Tridarma Ekakarma (Tridek), Dalam Bab III tentang Peran, Fungsi, dan Tugas Pokok TNI, dimana disebutkan dalam poin 14 bahwa “Tugas Pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila”. Sedangkan dalam 8 Wajib TNI dalam poin ke-6 dan ke-7 disebutkan untuk “tidak sekali-kali merugikan rakyat” serta “Tidak sekali menakuti dan menyakiti hati rakyat”. Kedua peraturan ini menunjukkan bahwa terduga pelaku yakni 7 aparat tersebut seharusnya tidak melakukan penyiksaan terhadap tiga orang petugas parkir yang merupakan bagian dari rakyat Indonesia.
TNI seharusnya tegas dalam memberikan sanksi kepada prajurit yang melanggar supremasi hukum sebagaimana amanat Undang-Undang TNI. Namun, perlu diingat bahwa pelanggaran-pelanggaran yang bersifat hukum pidana haruslah diproses melalui mekanisme pengadilan sipil. Berkenaan dengan peristiwa ini, penting rasanya untuk ditekankan kembali bahwa para pelaku tindak kekerasan yang diduga merupakan prajurit TNI haruslah diadili melalui peradilan umum. Hal ini sebagaimana yang telah diatur dalam TAP MPR No. VII Tahun 2000 Pasal 3 ayat (4) huruf a menyatakan bahwa “Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum”, yang kemudian ditegaskan dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia, menyatakan bahwa prajurit tunduk pada peradilan militer untuk pelanggaran hukum militer, sementara pelanggaran hukum pidana umum harus diselesaikan melalui peradilan umum. Dengan adanya penghukuman yang dijalankan secara transparan dan akuntabel diharapkan dapat memutus rantai impunitas dan menciptakan institusi TNI yang profesional.
Berdasarkan hal tersebut diatas, KontraS mendesak:
-
Panglima TNI untuk dapat melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap tubuh institusi TNI untuk dapat meminimalisir terjadinya peristiwa serupa di masa yang akan datang;
-
Kepolisian Republik Indonesia c.q. Polres Depok untuk dapat mengusut tuntas tindak kekerasan/penyiksaan yang dilakukan oleh 7 terduga prajurit TNI;
-
Komnas HAM melakukan pemantauan serta penyelidikan atas kekerasan yang terjadi dalam kasus ini;
-
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk berperan aktif dan turun langsung ke keluarga korban untuk dapat memberikan akses bantuan medis, psikologis, dan psikososial sebagai hak korban dan keluarga.
Jakarta, 12 Juni 2025
Badan Pekerja KontraS
Dimas Bagus Arya
Koordinator
Narahubung: 08176453325
3https://news.detik.com/berita/d-7946560/polisi-gandeng-denpom-usut-dugaan-tni-aniaya-warga-di-depok-gegara-parkir

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan