Pada 10 Juni 2025, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memenuhi panggilan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta untuk dimintai keterangan dalam Pengawasan Eksekusi Putusan perkara Nomor 541/G/KI/2023/PTUN.JKT, yang telah dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung (MA) pada tingkat kasasi melalui Putusan Nomor 638 K/TUN/KI/2024. Putusan ini menolak permohonan keberatan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) terhadap Putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) Nomor 042/XI/KIP-PS-A/2021 yang yang memerintahkan agar informasi mengenai Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 78/TK/2021 tentang pemberian Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres beserta alasan pemberiannya dibuka sebagai informasi publik.
Meskipun putusan tersebut telah inkracht (berkekuatan hukum tetap), nyatanya Kemensetneg masih belum kunjung melaksanakan isi putusan dengan membuka kedua informasi yang disengketakan. Dalam keterangan di persidangan, Kemensetneg menyatakan masih belum bisa memberikan salinan Keppres Nomor 78/TK/2021 dan alasan pemberian Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres. Padahal, MA telah memutus penolakan permohonan kasasi Kemensetneg sejak lama, yaitu pada 15 Oktober 2024. Kemensetneg menyampaikan bahwa pemberian informasi ini mengalami kendala berupa salinan putusan yang baru diterima pada Maret 2025. Dalam hal ini, Kemensetneg berargumentasi bahwa tenggang waktu ada di bulan Juni ini dan masih menunggu arahan karena birokrasi yang berjenjang. Selain itu, Kemensetneg juga menyampaikan bahwa pihak Kementerian akan menyusun upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali dan akan diajukan dalam waktu dekat.
Ketika KontraS menanyakan rentang waktu yang pasti kapan kedua informasi tersebut dapat diberikan, Kemensetneg menyatakan waktu 30 hari dari hari ini dan ada kemungkinan lebih lama lagi. Terhadap jawaban tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa waktu 30 hari terlalu lama sehingga diputuskan batasan waktu yang diberikan selama dua minggu. Jika dalam kurun waktu tersebut informasi yang dimohonkan masih belum diberikan, KontraS dapat meminta uraian terkait tidak dipenuhinya putusan kepada Kemensetneg. Sidang pun akan dilanjutkan setelah waktu dua minggu tersebut habis, yaitu pada 24 Juni 2025. Kemensetneg juga tidak menjawab pertanyaan KontraS mengenai bentuk langkah pasti yang akan dilakukan untuk memproses pemberian informasi. Hal ini mengesankan ketidakseriusan Kemensetneg dalam menaati putusan pengadilan yang justru sejalan dengan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi publik, dan akuntabilitas. Sengketa informasi tentang pemberian Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres sudah berlangsung sejak 2021 dan semestinya informasi tersebut diberikan segera setelah putusan inkracht pada tingkat kasasi. Penundaan ini menimbulkan kecurigaan tentang keberadaan informasi yang diminta.
Sebelumnya, pada 2 September 2021, Kemensetneg menolak permohonan informasi yang diajukan oleh KontraS mengenai kedua informasi tersebut dengan alasan bahwa informasi yang dimohonkan bersifat rahasia. Rangkaian tindakan ini menunjukkan upaya negara dalam menghindari akuntabilitas dan transparansi atas pemberian gelar Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres oleh Presiden Republik Indonesia–yang saat itu dijabat oleh Joko Widodo–pada 12 Agustus 2021 silam. Pasalnya, Eurico Guterres adalah seorang penjahat hak asasi manusia (HAM) yang bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa Timor Timur 1999. Ia telah diputus bersalah oleh Pengadilan HAM ad hoc tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi. Keterlibatannya juga dinyatakan dalam hasil investigasi yang dilakukan oleh Unit Kejahatan Serius (SCU) di bawah Administrasi Transisi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Timor Timur (UNTAET).
Pada dasarnya, penolakan Kemensetneg untuk membuka Keppres Nomor 78/TK/2021 dan alasan pemberian Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres tidak berdasar dan bertentangan dengan peraturan hukum yang ada. Kedua informasi yang dimohonkan tidak termasuk dalam jenis-jenis informasi yang dikecualikan untuk dibuka kepada publik, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Lebih lanjut, tidak adanya partisipasi publik dan transparansi dalam pemberian Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres tidak sejalan dengan landasan hukum yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK). Pasal 2 huruf b dan huruf h UU GTK menyatakan bahwa pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan harus dilakukan dengan asas kemanusiaan dan keterbukaan. Merujuk pada penjelasan pasal tersebut, maka pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan “harus mencerminkan harkat dan martabat manusia berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab” serta “harus dilakukan secara transparan, terbuka, dan dapat dikontrol secara bebas oleh masyarakat luas.” Ketika individu dengan rekam jejak buruk dalam HAM diberi penghargaan oleh negara, sudah selayaknya publik, terutama korban, mempertanyakan alasan dari pemberian penghargaan tersebut.
Pemberian Tanda Kehormatan berupa Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres hanya sebagian kecil dari tindakan serampangan negara yang memberikan penghargaan kepada penjahat HAM. Pada 28 Februari 2024, Presiden Republik Indonesia memberikan pangkat secara istimewa berupa gelar Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo Subianto, seorang terduga pelaku Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998 sesuai dengan hasil penyelidikan pro-yustisia Komisi Nasional (Komnas) HAM. Kemudian, pada 18 Maret 2025, Kementerian Sosial (Kemensos) bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) membahas usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, mantan Presiden Republik Indonesia yang selama masa jabatannya melakukan berbagai pelanggaran berat HAM, pelanggaran HAM, serta korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Proses pemberian penghargaan ini cenderung politis, tertutup, dan mengabaikan rekam jejak para penerima Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, tanpa akuntabilitas dan partisipasi publik. Preseden semacam ini tidak boleh diteruskan, terutama dalam wacana pemberian gelar pahlawan kepada sosok yang dijuluki “Sang Jenderal Jagal.”
Alih-alih menegakkan akuntabilitas dan menjamin penegakkan HAM dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, negara justru kembali menguatkan impunitas dan berupaya menghapus dosa pemerintah Orde Baru. Pemberian penghargaan dan apresiasi kepada individu-individu dengan rekam jejak berdarah dalam kemanusiaan dan penyalahgunaan kekuasaan berpotensi memberi sinyal pemakluman kepada publik atas kejahatan-kejahatan yang telah mereka lakukan dan membuka ruang kemungkinan terulangnya kembali kejahatan serupa. Bersama dengan wacana penulisan ulang sejarah dalam kurikulum pendidikan yang tidak mengakomodir suara korban kejahatan Orde Baru, pemberian penghargaan kepada Eurico Guterres, Prabowo Subianto, dan Soeharto mencerminkan kemunduran perjalanan Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh karena itu, KontraS mendesak Kementerian Sekretariat Negara untuk:
-
Menaati putusan Komisi Informasi Pusat Nomor 042/XI/KIP-PS-A/2021 yang telah dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 541/G/KI/2023/PTUN.JKT dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 638 K/TUN/KI/2024;
-
Memberikan salinan Keputusan Presiden Nomor 78/TK/2021 tentang pemberian Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres; dan
-
Memberikan alasan pertimbangan mengenai pemberian Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres disertai dengan rincian yang memuat secara keseluruhan mengenai hasil penelitian, pembahasan, dan verifikasi usulan pemberian Tanda Kehormatan
Jakarta, 12 Juni 2024
Badan Pekerja KontraS
Dimas Bagus Arya
Koordinator
Narahubung: +6282175794518

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan