Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyerahkan surat desakan kepada Kementerian Luar Negeri Indonesia yang memuat kecaman sekaligus kekecewaan atas pernyataan Prabowo Subianto pada 28 Mei 2025 yang mempertimbangkan untuk mengakui kedaulatan Israel apabila entitas tersebut ikut serta mengakui eksistensi negara Palestina. Surat desakan diterima langsung di Mailing Room Kementerian Luar Negeri Indonesia pada Rabu, 11 Juni 2025.

Desakan meliputi prinsip Non-Recognition Principle yang sepatutnya menjadi sikap utama Indonesia terhadap kejahatan kemanusiaan otoritas Israel sekaligus menjadi bukti konkret solidaritas kemanusiaan terhadap Palestina. Sayangnya, alih-alih mempertahankan konsep solidaritas, pemerintah justru mendorong ‘pengakuan bersyarat’ yang membuka peluang dukungan otoritas Israel dalam menghapus jejak kejahatan kemanusiaannya tanpa melalui proses pengadilan dan penghukuman yang semestinya.

Padahal, pada 19 Juli 2024, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa otoritas Israel melakukan kependudukan ilegal atas tanah Palestina yang melanggar Pasal 49 Konvensi Jenewa IV dan beberapa resolusi Dewan Keamanan PBB seperti Resolusi 242 yang menuntut Israel untuk menarik mundur pasukannya dari wilayah Palestina, serta Resolusi 338 yang mendorong gencatan senjata. Putusan juga menegaskan negara-negara anggota PBB untuk tidak mendukung atau mengakui pendudukan ilegal tersebut. Ironis, dalam salah satu proses persidangan terhadap pendudukan ilegal Israel yang digugat oleh Afrika Selatan, Indonesia melalui mantan Menteri Luar Negeri Surat Retno Marsudi pernah meninggalkan jejak dorongan akuntabilitas otoritas Israel melalui pernyataan opini hukum (advisory opinion) pada 22 Februari 2024 yang mendukung kemerdekaan penuh Palestina sebagai hak yang tidak dapat ditawar sehingga pernyataan Prabowo mencederai pernyataan sikap terkait.

Surat juga merujuk pada tindakan dan pengamatan pasif (bystander) pemerintah Indonesia terhadap tindakan tidak manusiawi otoritas Israel yang melakukan blokade bantuan kemanusiaan terhadap Kapal Madleen sekaligus penangkapan terhadap pembela HAM lingkungan Greta Thunberg beserta 11 aktivis lainnya dari 7 negara, serta seorang jurnalis Al Jazeera yang merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap Prinsip Dasar Hukum Humaniter Internasional. Ketentuan yang dilanggar tersebut khususnya sebagaimana termaktub dalam Pasal 70 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977 yang menyatakan bahwa bantuan kemanusiaan bersifat netral dan tidak memihak dan dilarang untuk dihambat oleh pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata, serta pasal 87 dan 90 Konvensi Internasional Hukum Laut (UNCLOS) terkait kebebasan navigasi. 

KontraS juga menilai bahwa langkah mundur solidaritas pemerintah Indonesia terhadap Palestina dapat dilihat dari konsistennya hubungan kerjasama perdagangan yang dilakukan dengan Israel. Berdasarkan data yang dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS), dari Januari hingga Mei 2025, Indonesia melakukan kegiatan impor sebesar USD 13,187,366 dan ekspor sebesar USD 83,634,839 hingga menguntungkan neraca perdagangan Indonesia sebesar USD 70,447,473 atau sebesar Rp 1.377.432.006.840,75 (Satu triliun tiga ratus tujuh puluh tujuh milyar empat ratus tiga puluh dua juta enam ribu delapan ratus empat puluh rupiah). Hal ini pun menjadi bukti keras Indonesia yang terus membangkangi putusan Mahkamah Internasional Juli 2024 bahwa tidak boleh ada aktor negara yang diperbolehkan untuk mengakui, membantu, hingga mendukung situasi ilegal kependudukan Israel yang hubungan dagang yang menguntungkan otoritas Israel secara ekonomi, di tengah sistem pendudukan dan apartheid, adalah bentuk tidak langsung dari complicity (keterlibatan) terhadap pelanggaran hukum internasional.

Kegiatan ini juga mengkhianati semangat Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) sebagaimana diadopsi oleh berbagai negara dan organisasi masyarakat sipil global. Pemerintah Indonesia justru menunjukkan sikap sebaliknya dengan memberikan "jalur VIP" diplomatik kepada otoritas Israel untuk membangun normalisasi hubungan secara diam-diam, yang pada akhirnya mencederai solidaritas publik Indonesia terhadap perjuangan rakyat Palestina.

Pernyataan Prabowo Subianto pada 28 Mei 2025 merupakan pengabaian terhadap prinsip akuntabilitas dan keadilan atas kejahatan berat, termasuk kejahatan perang dan kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh otoritas Israel. Pernyataan ini menyesatkan publik seolah-olah diplomasi bisa mengesampingkan realitas penderitaan rakyat Palestina yang berlangsung sejak Peristiwa Nakba pada 1948.

Berdasarkan pernyataan di atas, kami mendesak:

  1. Prabowo Subianto menarik kembali pernyataan 28 Mei 2025 mengenai pertimbangan Indonesia dalam mengakui kedaulatan Israel sebab pernyataan berbanding terbalik dengan semangat solidaritas yang telah dibangun selama beberapa dekade;

  2. Prabowo Subianto serta Kementerian Luar Negeri untuk menegaskan kembali posisi non-pengakuan (non-recognition principle) terhadap Israel atas dasar akuntabilitas yang belum dipertanggungjawabkan atas kejahatan kemanusiaan masyarakat Palestina;

  3. Prabowo Subianto serta Kementerian Luar Negeri untuk menghentikan retorika netral yang melegitimasi kejahatan seperti ‘pengakuan bersyarat’ yang dinyatakan oleh Presiden Indonesia pada Mei lalu;

  4. Prabowo Subianto, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Perdagangan untuk menghentikan segala bentuk kerjasama yang tengah dijalani dengan Israel atas dasar tidak adanya hubungan diplomasi dan tindakan yang mencerminkan pembangkangan terhadap semangat boikot masyarakat sipil Indonesia.


Jakarta, 12 Juni 2025
Badan Pekerja KontraS

 

 

Dimas Bagus Arya
Koordinator

Narahubung: Nadine (KontraS)

Tags
Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan