13 Tahun Reformasi, Apa Harapan Untuk Papua?

13 Tahun Reformasi, Apa Harapan Untuk Papua ?

Pasca penggabungan Papua (dahulu Irian Jaya) kedalam wilayah NKRI melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969, praktis kondisi di tanah papua tidak pernah kondusif. Berbagai bentuk pelanggaran HAM berdimensi Sipil Politik maupun Ekonomi, Sosial dan Budaya terus terjadi dan berulang. Bahkan memasuki usia reformasi yang ke †13, tidak ada perubahan signifikan di tanah Papua. Meski pemerintah pusat berusaha memperbaiki kondisi Papua dengan melahirkan UU No. 21 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, namun kebijakan ini tidak banyak menolong masyarakat Papua keluar dari berbagai persoalan, justru sebaliknya memunculkan persoalan baru, seiring maraknya aksi protes warga Papua yang menilai pelaksanaan Otsus telah gagal.

Katalog kemanusiaan bangsa ini terus mencatat beragam bentuk warisan pelanggaran HAM ditanah Papua, antara lain; kasus Teminabuan (1966-1967), peristiwa Kebar 26 Juli 1965, Peristiwa Manokwari 28 Juli 1965 dan Operasi Militer 1965 – 1969. Kemudian peristiwa penghilangan paksa di sentani 1970, Operasi Militer di Paniai sepanjang 1969 – 1980, Operasi Militer di Jaya Wijaya dan Wamena Barat kurun 1970 – 1985, kasus pembunuhan di Timika kurun 1994 – 1995, kasus pembunuhan di Tor Atas Sarmi kurun 1992. Bahkan pasca berakhirnya kekuasaan Orde Baru, warisan tersebut terus bertambah; penghilangan paksa Aristoteles Masoka, pembunuhan Theys Hiyo Eluay, pembunuhan Opinus Tabuni, kasus Wasior dan Wamena, kasus Abepura (penyerangan terhadap asrama mahasiswa oleh Brimob), penyiksaan di Puncak Jaya, persoalan Tahanan Politik (Tapol) atas tuduhan makar dan beragam kasus lainnya yang terus terjadi akhir †akhir ini.

Situasi tersebut adalah wujud nyata tidak adanya perubahan cara pandang dan perlakuan pemerintah pusat terhadap Papua. Setidaknya ada 4 hal yang membuat situasi ini berlarut, yakni; pertama, pemerintah masih mempertahankan pendekatan militer dan merahasiakan jumlah militer yang ditempatkan di Papua sehingga memicu beragam pelanggaran HAM, kedua, tingginya tingkat kecurigaan terhadap warga Papua dan tuduhan makar, ketiga, pemerintah melakukan pembiaran dengan tidak melakukan penyelesaian terhadap pelanggaran HAM di Papua, Keempat, belum muncul kesungguhan dan itikad baik dari pemerintah untuk menyelesaikan beragam persoalan di Papua melalui pendekatan dialogis yang egaliter, transparan dan komprehensif.

Untuk itu, mendesak bagi pemerintah untuk segera membuat dan merealisasikan blue print penyelesaian persoalan Papua secara menyeluruh dengan melibatkan keterwakilan dan aspirasi segenap warga papua dari berbagai latar belakang melalui mekanisme dialogis. Blue Print harus mampu menjawab beragam persoalan di Papua, khususnya aspek historis, Hak Asasi Manusia dan penegakan hukum, kesejahteraan, eksplorasi Sumber Daya Alam, rencana pembangunan, Peningkatan SDM, penarikan TNI (penghentian operasi militer).

Selain itu, penting untuk mendorong peran aktif DPR RI bersama †sama dengan DPRP, Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam melakukan pengawasan dan akuntabilitas. Kemudian Komnas HAM RI dan Komda HAM Papua harus mengambil peran penting dan strategis sebagai referensi utama penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua. Terakhir, pemerintah harus terbuka dan membuka diri bagi hadirnya pengawasan internasional sebagaimana potret penyelesaian damai di Aceh untuk menopang akuntabilitas resolusi untuk Papua.

Jakarta, 23 Mei 2011
Badan Pekerja,

 

Haris Azhar, SH, MA
Koordinator Eksekutif Nasional

13 Tahun Reformasi, Apa Harapan untuk Papua?

Senin (23/5/11), bertempat di kantornya, Jl. Borobudur 14 Menteng, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menggelar diskusi publik bertajuk “13 Tahun Reformasi, Apa Harapan Untuk Papua?”. Hadir sebagai pembicara, Septer Manufandu (Sekretaris Eksekutif Foker LSM Papua), Ridha Saleh (Komisioner Komnas HAM),  Paskalis Kosai (Ketua Kaukus Papua) dan Haris Azhar (Koordinator KontraS).

Signal Blegur, MC sekaligus Moderator, memulai acara pada 13.00 WIB dengan memberi kesempatan kepada Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM untuk memberikan sambutannya. Setelah itu para pembicara bergantian memaparkan pendapatnya mengenai apa yang didapat Papua dari Reformasi yang telah berjalan 13 tahun.

Sefter Manufandu menyampaikan bahwa Otonomi Khusus (Otsus) di Papua merupakan salah satu wujud pengakuan pemerintah Indonesia atas kegagalan membangun Papua sebelumnya. Otsus diharapkan bisa menjadi solusi atas semua problem Papua, termasuk konflik. Namun, Otsus ternyata tak berjalan semestinya karena ada beberapa hal yang sangat menggangu. Yang pertama, stigma-stigma negatif yang disematkan kepada rakyat Papua, seperti separatisme, rakyat Papua tak bisa dipercaya dan lainnya. Kedua, Indeks pembangunan manusia Papua yang tertinggal jauh dari daerah lain, terutama di bidang kesehatan dan pendidikan.

Sampai 13 tahun berjalannya reformasi, Sefter melanjutkan, pelanggaran HAM di Papua terus terjadi, baik aspek Sipil Politik (Sipol) ataupun Ekonomi Sosial Budaya (Ekosob). Di bidang Sipol; extra judicial killing, penyiksaan dan penganiayaan yang menggunakan alat negara masih terjadi. Pun, kebebasan berekspresi; demonstrasi yang bertujuan mengeritik kebijakan yang tak berpihak kepada Papua sering dianggap makar hanya gara-gara para demonstran mengatakan lebih baik merdeka daripada menderita. Di aspek Ekosob, Kemiskinan masih menjadi hal yang masih belum terpenuhi.

Menurut Sefter, tujuan UU Otsus sangat jelas namun yang terjadi di lapangan jauh dari harapan. Hal itu karena pemerintah melulu menggunakan pendekatan operas militer dalam menyelesaikan masalah. Uang yang banyak dari Otsus tak menjamin konflik bisa segera diakhiri. Maka “Penyelesaian konflik politik di Papua adalah prasyarat bagi penegakan HAM di sana,” tegas Sefter.

Ridha Saleh menyambung, masalah Papua memang rumit. Kerap kali kepentingan orang-orang yang di Jakarta tidak ketemu dengan harapan rakyat Papua. Banyak proyek yang diberikan Papua melalui Otsus namun yang lahir bukan kemakmuran melainkan kesenjangan. “Kalau rakyat Papua tetap dijadikan proyek maka masalah tidak akan pernah selesai” katanya.

Selain itu, menurut Ridha, kelompok-kelompok yang menyuarakan kemerdekaan harus dilihat sebagai suatu yang penting karena kelompok ini militan dan gerakannya massif. Kelompok ini sangat berpengaruh negatif dalam program-program pemerintah. Maka kelompok inilah yang harus diajak bicara. “Elit politik dan tokoh Gereja sudah sering diajak bicara, tapi mengapa kelompok ini tidak,” tanya Ridha. 

Selain itu, pemerintah juga harus melakukan hal-hal yang bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat Papua terhadap Pemerintah. Seperti dalam kasus Puncak jaya, walaupun pelakunya (TNI) hanya disidangkan di pengadilan militer, hal ini sangat terasa oleh rakyat Papua. Mereka merasa mendapat sesuatu karena pelaku pelanggaran HAM terhadap rakyat Papua bisa diadiali. “hal-hal seperti inilah yang mesti diperlihatkan,” katanya.

Sementara, Paskalis Kosai mengatakan, persoalan Papua harus dilihat akarnya. Setelah 40 tahun, Indonesia tidak tahu akar masalah mengapa Papua terus bergejolak. Ada sesuatu yang disembunyikan, tidak di angkat. Dalam sejarah, sejak tahun 1963 (setelah integrasi) sudah mulai tumbuh gerakan-gerakan yang tidak senang dengan integrasi. Sayang, gerakan tersebut selalu dihadapi dengan kekerasan yang berujung pada pelanggaran HAM.  Setelah Reformasi banyak rakyat Papua bicara, menuntut hak, lalu lahirlah Otsus dengan tujuan merekonsiliasi permasalahan. Nyatanya, Otsus tak berjalan baik karena pemerintah tidak menjalankan amanat Otsus dengan sungguh-sungguh.

Pembicara terakhir, Haris Azhar memaparkan temuan-temuan KontraS terkait konflik di Papua, antara lain; munculnya konflik di Papua ternyata berimbas pada peningkatan operasi-operasi militer di sana. Inilah yang membuat konflik tak bisa berhenti. Selain itu, politik di Papua merupakan imbas dari politik di Jakarta. “Jadi, jika ada situasi yang buruk di Papua, maka harus ada yang diperbaiki di Jakarta,” ujar Haris.

Setelah itu, Moderator memberikan kesempatan Bambang Darmono, mantan Setjen Dewan Ketahanan nasional (Wantanas) untuk bicara. Pertama dia mengklarifikasi bahwa dia belum ditujuk Presiden menjadi ketua pelaksana Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), namun ditugasi Wapres untuk menyusun struktur UP4B. Dia menekankan pentinganya pendekatan Non-Militer. Pendekatan security harus diubah menjadi pendekatan kemakmuran. Baginya, persoalan Papua adalah Politis, penyelesaian lewat pendekatan ekonomi dan budaya itu baik, namun yang tetap harus dipentingakan adalah penyelesaian dengan pendekatan politik.

Setelah itu, sesi tanya jawab dibuka, ada tiga penanya yang kebetulan merupakan anak-anak muda Papua. Pada intinya mereka menyatakan bahwa program-program pemerintah yang diamanatkan undang-undang seperti Otsus misalnya terbukti gagal menyejahterakan rakyat bahkan memperdalam kesenjangan. Oleh karena itu mereka mempertanyakan UP4B yang digagas pemerintah.

Bambang Darmono yang didaulat maju pun menjawab bahwa menyelesaikan masalah bangsa haruslah menggunakan pemikiran-pemikiran yang konstruktif demi  pembangunan bangsa. Tidak ada satu bangsa pun yang berhasil menyelesaikan masalahnya dengan ujung bayonet. UP4B adalah salah satu upaya pemerintah menyelelesaikan masalah Papua dengan pendekatan pembagunan.

Sefter dan Ridha menambahi, UP4B harus dijadikan alat pembentuk kepercayaan antara pemerintah dengan rakyat Papua. Jika tidak UP4B akan sia-sia. Selain itu menurut Ridha, harus ada Pra dialog atau konsultasi publik sebelum dialog atau UP4B dilaksanakan. Dialog ini berguna untuk mengenalkan program pemerintah kepada Rakayat Papua yang terlajur sakit hati dan melihat negatif semua program yang ditawarkan. “intinya harus ada affirmative action yang diempirikkan,” ujarnya.