Diskusi “Darurat Reformasi POLRI”

Diskusi "Darurat Reformasi POLRI"

Pada Rabu, 11 Maret 2015 lalu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menggelar sebuah acara diskusi publik bertajuk "Darurat Reformasi POLRI", diskusi publik tersebut dimulai dari pukul 14.00 hingga pukul 16.00 WIB bertempat di halaman kantor KontraS, Jl.Borobudur No.14 Menteng Jakarta Pusat.

Diskusi publik "Darurat Reformasi POLRI" ini menghadirkan tiga orang narasumber, yaitu: Neta S Pane dari Indonesia Police Watch (IPW), Brigjen Gatot Eddy Pramono (Mabes POLRI), dan Chrisbiantoro dari KontraS sendiri, serta dimoderatori oleh staff biro kampanye dan jaringan KontraS yaitu Ninies.

Diskusi publik tepat dimulai pada pukul 14.00 WIB yang diawali dengan pemaparan dari Brigjen Gatot. Beliau memaparkan selama kurang lebih 25 menit mengenai sejarah kepolisian di RI, bentuk-bentuk/sistem kepolisian di Negara lain, positif dan negatif dari masing-masing sistem tersebut, dan mengapa sistem kepolisian yang sekarang dianut oleh Indonesia adalah yang sentralisasi dimana kuasa tertinggi adalah Kapolri yang posisinya tepat langsung dibawah Presiden Republik Indonesia. Dalam pemaparannya, Brigjen Gatot menegaskan bahwa sistem kepolisian yang sekarang adalah sudah yang paling ideal, beliau tidak setuju akan wacana bahwa Polri akan ditempatkan dibawah Kementerian Dalam Negeri karena itu akan membatasi wilayah tugas dan kewenangan personil Polisi. Selain itu, beliau juga tidak ingin, nantinya polisi akan bersifat kedaerahan atau hanya mementingkan daerah tempat mereka bertugas saja dan abai akan peristiwa di daerah lain – padahal misalnya, peristiwa tersebut membutuhkan banyak personil polisi untuk ikut turun tangan.

Setelah pemaparan dari Brigjen Gatot, diskusi dilanjutkan dengan pemaparan dari Neta S Pane yang menyampaikan sudut pandangnya tentang apa yang disebut "reformasi polri". Beliau mengatakan, bahwa sejak terbentuknya Institusi Kepolisian di negeri ini, memang sudah sarat akan ‘konflik’, maka sebetulnya segala kekurangan yang sekarang ada di Polri merupakan hal-hal yang sulit untuk dihindari dan butuh banyak kesabaran dalam memprosesnya ke arah perubahan yang lebih baik. Dalam pemaparannya, beliau juga banyak menyampaikan ke-tidaksetujuannya bila Polri ditempatkan dibawah Kementerian Dalam Negeri dan menganut sistem desentralisasi. Kata beliau, reformasi di tubuh Polri tetap harus dilakukan melalui jalur-jalur yang sudah ada, dan sesuai dengan sistem dan mekanisme kepolisian yang berlaku saat ini.

Tibalah kita pada pembicara yang terakhir, yaitu Chrisbiantoro. Chris mengawali sesi pemaparannya dengan menonjolkan peristiwa-peristiwa tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh personil kepolisian. Banyak data dan temuan KontraS yang Chris utarakan kepada publik, termasuk juga penjelasan bahwa dari tahun ke tahun akuntabilitas institusi Polri terus dipertanyakan, hal ini dapat dilihat di berbagai laporan-laporan KontraS yang berdasar pada investigasi dan pemantauan yang KontraS lakukan. Chris tak lupa menambahkan, bahwa ada yang salah dengan cara Polri menjalankan tugas dan wewenangnya bahwa Kepolisian seringkali menggunakan cara-cara kekerasan dan tidak manusiawi di berbagai peristiwa, dan ini tidak sesuai dengan mandate Polri yang seharusnya berperan sebagai pengayom dan pelindung masyarakat, namun di banyak kejadian, Polri malah menjadi kelompok yang terlihat dominan melakukan kekerasan dan menjadi ‘teror’ bagi masyarakat.

Seusai pemaparan, diskusi publik dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang kali ini diwarnai dengan beberapa pertanyaan dan sharing dari teman-teman mahasiswa. Adapun cerita dan pertanyaan yang muncul dari mereka adalah tentang bagaimana Polri menerapkan kultur "anti korupsi" di tubuh Polri itu sendiri, bagaimana sistem pengadaan atau pengembangan teknologi, juga tentang bagaimana personil Polri itu sendiri paham akan maksud "Reformasi Polri" dan harapan akan insititusi Polri yang lebih memuliakan manusia kedepannya.