Roaming! Rencana Revisi Undang-Undang Anti Terorisme di Indonesia

Roaming! Rencana Revisi Undang-Undang Anti Terorisme di Indonesia

 

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada Hari Minggu, 28 Februari 2016 menyelenggarakan diskusi publik dengan judul “Roaming!” terkait rencana revisi Undang-Undang Anti Terorisme di Indonesia di Brown Bag Cafe, Menteng, Jakarta Pusat. Diskusi ini dilatarbelakangi dari cara negara menyikapi serangan terorisme di Jakarta, Kamis, 14 Januari 2016 dengan dua hal, yaitu penegakan hukum para teroris dengan Revisi UU No. 15 Tahun 2003 mengenai Penanganan Terorisme dan memperkuat penyelenggaraan operasi keamanan sebagaimana yang masih dilakukan hingga kini di Poso, Sulawesi Tengah. Diskusi publik ini mengundang beberapa narasumber yang memiliki keahlian berbeda, ada yang ahli di studi keamanan, ada yang ahli di isu agama dan deradikalisasi, ada yang merupakan anggota parlemen, dan yang ahli di isu Hak Asasi Manusia. Mereka adalah Andrew Mantong dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Wahyudi Akmaliah dari Maarif Institut, Arsul Sani dari Komisi III DPR, dan Haris Azhar dari KontraS.

Pembicara pertama yaitu Andrew Mantong dari CSIS mengungkapkan beberapa poin penting dalam diskusi publik. Pembicara mengungkapkan bahwa kelompok teror saat ini jika dilihat dari studi terorisme masuk pada gelombang ke IV. Gelombang awal yang dulunya hanya perang merebut wilayah, saat ini lebih bertujuan untuk menghilangkan makna hidup dengan tujuan jangka panjangnya mengubah sistem hidup. Ia kemudian menyatakan bahwa UU Anti Teror seharusnya mempertimbangkan prinsip bernegara, dimana yang harus dipantau secara bersama adalah pemikiran dan politik yang melatarbelakangi revisi, serta tantangan dari ancaman teroris itu sendiri. Revisi sebaiknya mengatur hal-hal lain yang belum ada seperti penggunaan electronic tagging di internet yang dapat bersinergi dengan UU ITE demi mencegah terorisme secara dini.

Pembicara kedua, yaitu Wahyudi Akmaliah dari Maarif Institut menjelaskan bahwa wacana revisi yang dilontarkan oleh pemerintah akan mengancam kebebasan, apalagi jika kewenangan yang ditambahkan sangat besar. Saat ini aparat keamanan justru tidak cukup tanggap di isu kelompok minoritas serta kelompok rentan di daerah konflik. Kewenangan ini ditakutkan akan menjadi alat untuk memukul mereka yang sebenarnya bukan teroris. Ia juga menambahkan pandangan bahwa seharusnya deradikalisasi dapat dilakukan melalui intervensi dalam institusi keluarga yang lebih memiliki efek jangka panjang dalam mencegah tindak terorisme.  

Pembicara ketiga yaitu Arsul Sani dari Komisi III DPR yang merupakan komisi yang mengurus ruang lingkup hukum, HAM, dan keamanan menyampaikan informasi mengenai wacana-wacana yang beredar atas revisi UU Anti Terorisme. Menurutnya, rencana revisi sudah lama dicetuskan, tetapi baru pada tahun 2016 ini masuk ke Prolegnas. Seiring dengan banyaknya kejadian dimana warga keluar negeri untuk bergabung dengan ISIS dan bom 14 Januari, wacana ini dianggap semakin mendesak. Dalam rencana revisi ada beberapa yang menjadi fokus pengubahan, yaitu: 1) Penalisasi dengan menambah delik pidana, seperti mereka yang mengikuti pelatihan paramiliter yang diselenggarakan oleh kelompok teroris; 2) Pemberatan sanksi pidana, termasuk juga dalam tahap perencanaan; 3) Memperluas subjek pelaku teroris agar dapat memidanakan badan, korporasi, atau organisasi; 4) Menambah alternatif sanksi lain seperti pencabutan warga negara; 5) Adanya perluasan kewenangan yang menurutnya bukan dimaksukan ke penambahan kewenangan BIN karena sudah ada kesepahaman di DPR bahwa penegakan hukum hanya dibawah kepolisian; 6) Penangkapan diperlama dari 7×24 jam menjadi 30×24 jam; 7) Wacana perpanjangan penahanan awal menjadi total 6 bulan jika dihitung dari penahanan di kepolisian hingga lembaga peradilan; 8) Ada rencana pencegahan dengan menempatkan seseorang selama 6 bulan untuk program deradikalisasi. Berbagai wacana ini menurutnya harus dikritisi dan harus dikawal oleh masyarakat.

Pembicara terakhir adalah Haris Azhar sebagai Koordinator KontraS menjelaskan kenapa memilih judul “Roaming” sebagai diskusi publik. Roaming disini diartikan bahwa untuk melawan terorisme, biaya yang harus dikeluarkan sangat mahal jika revisi ini benar dilaksanakan. Biaya disini tidak hanya finansial, tetapi juga biaya sosial dan juga biaya kepercayaan karena penuh resiko pelanggaran hak asasi manusia. Bom di Jakarta pada 14 Januari seakan menjadi momentum untuk memprioritaskan revisi UU Anti Teror ini. Beberapa poin penting dapat dilihat dari rencana revisi ini, yaitu bahwa pemerintah tidak terbuka ke masyarakat. Pemerintah tidak konsultasi ke publik luas walaupun masyarakat sipil mengetahui ada beberapa staff kabinet yang melakukan pertemuan. Pertemuan tersebut juga tanpa status yang dikhawatirkan hanya untuk kepentingan citra di media saja. Negara dalam hal ini harus memperhatikan standar hukum yang jelas dan tidak saling melempar tanggung jawab jika nantinaya terdapat kesalahan. Poin penting lain adalah penangkapan terorisme sampai saat ini belum dievaluasi. Perangkat peraturan yang mengatur tentang terorisme milik Indonesia sebenarnya sudah canggih, tetapi penegak hukumnya belum canggih untuk menggunakannya. Salah kaprah masih banyak terjadi, pelaku ditangkap untuk mencari alat bukti, padahal pelaku hanya dapat ditangkap setelah memiliki bukti yang jelas. Negara kita dalam hal sudah mewah untuk penanganan terorisme melihat laporan intel saja bisa dijadikan bukti. Pemerintah juga sepertinya tidak memiliki imajinasi untuk penanganan terorisme dan seakan revisi ini hanyalah ekstensifikasi dari agenda-agenda sebelumnya. Jangan sampai pemerintah saat ini sedang menabung ruang yang bisa digunakan oleh seseorang untuk mengambil alih kekuasaan, termasuk untuk menangkap para aktivis dan pembela HAM.

Diskusi publik revisi UU Anti Terorisme yang dihadiri oleh jurnalis, mahasiswa, pelajar, dan masyarakat umum ini dilanjutkan dengan sesi tanya jawab kepada peserta yang hadir. Acara kemudian selesai sekitar jam 4 sore dengan pesan bahwa suatu bentuk kekerasan tidak bisa dijawab dengan kekerasan karena justru semakin menumbuhkembangkan bibit fundamentalisme dan terorisme di Indonesia.