Koalisi Masyarakat Sipil: Libatkan Pihak Independen Dalam Tim Kajian UU ITE

Mencermati isi Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021 tentang Tim Kajian UU ITE yang disahkan 22 Februari 2021, Koalisi Masyarakat Sipil menilai pemilihan tim kajian UU ITE ini tidak akan membuahkan hasil seperti yang didambakan masyarakat.

Penilaian ini didasarkan pada dua hal yang perlu dikritisi.

Pertama, tidak adanya keterlibatan pihak independen yang dapat melihat implikasi UU ITE pada pelanggaran hak-hak asasi warga, seperti Komnas HAM yang selama ini menerima aduan terkait pelaporan pada pembela HAM dengan pasal-pasal karet UU ITE dan Komnas Perempuan yang selama ini mereima aduan terkait laporan korban kekerasan gender yang justru dilaporkan dengan pasal 27 ayat 1 dan pasal 27 ayat 3 UU ITE saat memerjuangkan haknya sebagai korban.

Selama ini pasal-pasal karet UU ITE menunjukkan lebih banyak digunakan oleh orang yang memiliki kuasa (penguasa, pengusaha, atau aparat), maka hampir dapat dipastikan pemillihan Tim Kajian UU ITE tanpa melibatkan unsur-unsur yang independen dikhawatirkan justru akan melanggengkan adanya pasal-pasal karet tersebut. Dengan begitu Tim Kajian UU ITE yang demikian ini akan berat sebelah dalam melakukan kajian, terutama menitik beratkan pada aspek legalistik formal dan mengabaikan/menutupi adanya situasi ketidakadilan yang selama ini timbul akibat diberlakukannya pasal-pasal karet di dalam UU ITE.

Kedua, Koalisi Masyarakat Sipil juga menilai Tim Kajian UU ITE ini ternyata justru dipimpin oleh orang yang selama ini dinilai berpotensi menghambat upaya revisi dan dinilai tidak memiliki komitmen untuk memperbaiki demokrasi yang jelas-jelas bersumber dari adanya pasal-pasal karet UU ITE.

Pasal – pasal karet dalam UU ITE memang nyata bermasalah dan telah memidana banyak jurnalis, aktivis pembela HAM, akademisi dalam menyampaikan ekspresi dengan mengedepankan fakta dan bermartabat namun justru dipenjarakan sebagaimana dapat dilihat dari laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFEnet yang dapat diakses oleh publik.

Penunjukan komposisi Tim Kajian UU ITE yang dinilai bermasalah ini memberi pesan adanya ketidakseriusan pemerintah dalam menjalankan permintaan Presiden Jokowi untuk menelaah adanya potensi ketidakadilan dalam UU ITE. Sulit rasanya bagi masyarakat sipil untuk berharap banyak pada Tim Kajian UU ITE dapat menemukan kajian ketidakadilan dalam UU ITE jika melihat komposisinya yang tidak seimbang dan lebih banyak dari pihak pemerintah saja.

Oleh karena itu Koalisi Masyarakat Sipil mendorong :

1. Pemerintah harus melibatkan pihak-pihak independen seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan dalam Tim Kajian UU ITE.

2. Koalisi Masyarakat Sipil menolak tegas keberadaan tim yang lebih fokus bekerja untuk merumuskan kriteria implementatif pasal-pasal tertentu UU ITE. Pedoman interpretasi ini tidak akan menjawab akar persoalan dari permasalahan yang dihadapi bangsa ini akibat pasal-pasal karet UU ITE.

3. Mendesak Tim Kajian UU ITE ini u tuk fokus menelaah keberadaaan pasal-pasal bermasalah di UU ITE terutama pasal-pasal karet dan mendorong revisi yang substantif terhadap pasal-pasal ini.

4. Mendorong tim kajian ini untuk melibatkan secara aktif para akademisi, korban, perempuan korban, aktivis, pembela HAM, dan kelompok media dalam kajian pasal-pasal UU ITE.

Demikian pernyataan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami haturkan terima kasih sebesar-besarnya.

Hormat Kami

*Koalisi Masyarakat Sipil*

LBH Pers, SAFEnet, YLBHI, ICJR, IJRS, ELSAM, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Greenpeace Indonesia, KontraS, Amnesty International Indonesia, PUSKAPA UI, Imparsial, AJI Indonesia, PBHI, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia, ICW, LeIpP, dan WALHI

Logika Keliru Dalam Rencana Pemerintah Menyusun Pedoman Interpretasi terhadap UU ITE

Terdapat kabar mengenai rencana pemerinah melakukan penyusunan pedoman interpretasi resmi terhadap Undang – Undang Informasi dan Transasksi Elektronik (UU ITE). Pernyataan tersebut disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Jhonny G Plate. Rencana tesebut bertujuan sebagai bentuk pedoman interprestasi resmi terhadap UU ITE agar lebih jelas dalam penafsiran dan implementasinya berjalan adil.

Berdasarkan pernyataan mengenai rencana pemerintah tersebut dengan ini beberapa Organisasi Masyarakat Sipil menyatakan bahwa rencana tersebut tidaklah tepat dan justru berpotensi membuka ruang baru melakukan kriminalisasi. Pasal – pasal karet dalam UU ITE memang bermasalah dan telah memakan banyak korban. Namun membuat sebuah pedoman interpretasi terhadap UU ITE bukanlah langkah yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pemerintah seharusnya mencabut seluruh pasal – pasal yang dinilai bermasalah dan rentan disalahgunakan akibat penafsiran yang terlalu luas. Adapun hal – hal yang melatarbelakangi sikap kami tersebut adalah:

Pertama. Pengaturan mengenai tindak pidana kepada sebuah ekspresi seperti penghinaan, perbuatan menyerang kehormatan seseorang dan ujaran kebencian sejak awal sangatlah samar – samar pemenuhan unsur pidanannya serta sangat subjektif penilaiannya. Sehingga kualifikasi sebuah perbuatan dianggap sebagai tindak pidana kepada ekspresi sangat sulit memiliki standar interpretasi yang tegas dan memiliki kepastian hukum. Oleh karena itu pembuatan pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE merupakan langkah yang tidak menyelesaikan akar permasalahan, justru malah berpotensi membuka ruang interpretasi lain yang tidak mustahil justru lebih karet dibandingkan pasal – pasal UU ITE sendiri.

Kedua. Ketentuan mengenai pemidanaan terhadap tindak pidana kepada ekspresi sendiri tidak hanya diatur dalam UU ITE saja. Ketentuan – ketentuan tersebut diatur dalam berbagai peraturan perundang – undangan seperti dalam ketentuan mengenai defamasi dalam pasal 310 & 311 KUHP, penodaan agama dalam pasal 156a KUHP & UU No. 1 Tahun 1/PPNS Tahun 1965, dan tindak pidana menyebarkan berita bohong dalam pasal 14 & pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana. Ketentuan pemidanaan kepada ekspresi dalam berbagai peraturan tersebut juga memiliki permasalahan yang serupa, yaitu tidak adanya standar yang jelas dan sangat subjektifitas penilaian atas terpenuhinya perbuatan pidana tersebut. Rencana pembuatan pedoman interpretasi terhadap UU ITE menjadi langkah keliru, karena dengan logika yang sama maka seluruh ketentuan pemidanaan kepada ekspresi seharusnya dibuat juga pedoman yang serupa. Namun langkah tersebut hanya akan mengulang logika yang keliru karena sejak awal sangat tidak mungkin mengukur pemenuhan tindak pidana kepada sebuah ekspresi. Tentunya, pencabutan pasal-pasal karet di UU ITE ini perlu, karena beberapa diantaranya sudah ada di KUHP, agar tidak ada duplikasi dan memberikan kepastian hukum. Oleh karena itu dibandingkan membuat pedoman interpretasi kepada ketentuan tindak pidana kepada ekspresi, pemerintah seharusnya mencabut saja pasal – pasal karet tesebut.

Ketiga. Ketentuan tindak pidana kepada ekspresi tersebut selain telah membungkam dan memakan banyak korban, juga telah mencipkan budaya saling lapor melapor. Hal ini tentunya bukan situasi yang ideal dalam kehidupan demokrasi di sebuah negara. Rencana penyusunan pedoman interpretasi UU ITE tidak akan merubah situasi semakin tergerusnya ruang kebebasan sipil yang sudah terlanjur terjadi saat ini, justru malah membuka ruang baru sebuah kriminalisasi ekspresi kedepannya.

Demikian pernyataan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami haturkan terima kasih sebesar -besarnya.

Hormat Kami

*Koalisi Masyarakat Sipil*

(LBH Pers, SAFENet, ICJR, IJRS, YLBHI, Greenpeace, KontraS, ELSAM, LBH Masyarakat, Imparsial, AJI Indonesia, LBH Jakarta, Puskapa)

Narhubung :
Rizki Yudha (Pengacara Publik LBH Pers)
Hotline : 082146688873