Surat Telegram TNI dan Keterlibatan dalam Penangkalan Radikalisme: Menambah Rentetan Masalah Institusi TNI

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti beberapa permasalahan di institusi Tentara Nasional Indonesia (TNI) belakangan ini, seperti terbitnya Surat Telegram Panglima TNI Nomor ST/1221/2021 mengenai prosedur pemanggilan prajurit TNI oleh aparat penegak hukum[1] dan pernyataan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal TNI Dudung Abdurachman yang akan memberlakukan cara-cara orde baru dalam menangkal gerakan radikalisme.[2] Kami menilai beberapa langkah yang diambil tersebut memiliki tendensi untuk mengembalikan militerisme sebagaimana yang terjadi pada era orde baru.  Hal ini tentunya akan berdampak buruk pada kondisi demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.

Surat Telegram TNI tentu merupakan upaya untuk memberikan keistimewaan bagi aparat TNI agar kebal terhadap proses hukum yang berlaku. Selama ini, proses pelanggaran hukum yang dilakukan oleh prajurit TNI masih jauh dari sistem yang transparan dan akuntabel. Lahirnya peraturan baru ini jelas akan semakin menunjukkan upaya perlindungan dari kesatuan terhadap anggotanya dan menebalkan impunitas di tubuh TNI. Selain itu, Surat telegram ini juga akan sangat berbahaya bagi mental prajurit TNI yang akan dengan mudahnya melakukan berbagai pelanggaran – yang berkelindan dengan tindak pidana karena telah merasa bahwa seolah mereka kebal hukum. Adapun surat telegram tersebut juga akan menjadi preseden buruk, sebab institusi lain akan melakukan hal serupa untuk lari dari pertanggungjawaban hukum.

Sebelum terbitnya surat telegram tersebut, praktik semacam ini telah dilakukan secara tidak langsung oleh kesatuan TNI, misalnya dengan mengirimkan surat rekomendasi keringanan hukuman bagi prajuritnya yang melakukan pelanggaran hukum, sebagaimana dapat dilihat dalam kasus yang dialami alm. Jusni.[3] Tidak hanya itu, dalam kasus yang menewaskan Pendeta Yeremia di Intan Jaya yang dilakukan oleh prajurit TNI, dalam pengusutannya pihak TNI cenderung tertutup dengan tidak membuka akses informasi kepada publik atas proses penyelidikan/penyidikan yang sedang dilakukan.

Selain itu, kami juga menilai bahwa surat telegram TNI ini juga inkonstitusional sebab melanggar prinsip equality before the law sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Penegak hukum baik Kepolisian, Kejaksaan ataupun KPK akan mengalami kesulitan dalam mengusut tuntas pelanggaran yang dilakukan oleh aparat militer sebab memiliki berbagai keterbatasan dalam substansi surat telegram tersebut. Semisal, dalam hal melakukan pemanggilan dalam suatu proses hukum, penegak hukum harus melalui dan berkoordinasi dengan Komandan/Kepala Satuan TNI terkait.[4]  Penambahan prosedural tersebut tentu menjadikan mekanisme hukum semakin berbelit sehingga berimplikasi pada lemahnya penegakan hukum materiil. Belum lagi kultur atasan yang seringkali melindungi bawahannya apabila melakukan pelanggaran.

Kami juga menyoroti pernyataan KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurachman yang menyatakan akan memberlakukan kembali cara-cara orde baru dalam menangkal gerakan radikalisme.[5] Jenderal Dudung bahkan hendak mengerahkan prajurit TNI AD hingga ke tingkat paling bawah atau Babinsa demi merealisasikan hal ini. Kami melihat, pernyataan Jenderal Dudung tersebut merupakan bentuk pengabaian terhadap konsekuensi dari stigmatisasi kepada kelompok tertentu seperti halnya yang terjadi pada era Orde Baru dalam peristiwa  Tanjung Priok pada tahun 1984 dan Talangsari pada tahun 1989.

Pada hakikatnya, kewenangan untuk mengatasi radikalisme merupakan tupoksi dari Kepolisian dan BNPT sebagaimana diamanatkan UU Terorisme. TNI seharusnya fokus kepada tupoksinya sendiri dalam menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi bangsa dari segala ancaman.[6]  Sebaliknya, wacana ini justru mendorong pelibatan TNI dalam ranah sipil yang jelas tidak sesuai dengan undang-undang dan amanat reformasi. Selain itu, pengerahan kekuatan TNI sebagai angkatan bersenjata untuk mengurusi ranah sipil juga berpotensi mencederai demokrasi dan memperburuk kondisi hak asasi manusia.

Belum lagi, tingkat kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI masih terbilang tinggi dan korban utama dari tindakan tersebut adalah masyarakat sipil. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, TNI AD selalu menempati posisi tertinggi dalam hal melakukan kekerasan jika dibandingkan dengan matra yang lain, sebab TNI AD merupakan satuan yang paling banyak berinteraksi dengan masyarakat. Dengan adanya ketimpangan relasi yang tinggi antara prajurit TNI dan masyarakat sipil, gesekan dan potensi pelanggaran HAM akan semakin besar terjadi. Ketimbang melakukan hal-hal di luar tupoksi, KSAD seharusnya dapat fokus untuk membenahi pekerjaan rumah institusi TNI yang tak kunjung usai, seperti kultur kekerasan yang terus terjadi, keterlibatan TNI yang masif di ranah sipil, dan mandeknya reformasi peradilan militer. Selain itu, Jenderal Dudung juga harus dapat mengeksekusi arahan Panglima TNI yang berkomitmen untuk menyelesaikan situasi kemanusiaan di Papua lewat pendekatan nir-kekerasan.

Kami juga menyoroti bahwa ucapan atau arahan KSAD ini dapat dijadikan prajurit di lapangan sebagai legitimasi melakukan stigma terhadap berbagai kelompok yang dianggap radikal. Belum lagi definisi dan standar radikal tidak jelas ukurannya selama ini dan hanya menggunakan tafsir tunggal negara. Metode stigmatisasi oleh aparat selama ini terbukti telah meningkatkan angka represi dan berimplikasi buruk bagi HAM. Hal tersebut tercermin saat Kepolisian yang aktif memburu kelompok anarko pada rangkaian demonstrasi besar-besaran penolakan Omnibus Law pada tahun 2020 lalu.[7] Kami mengkhawatirkan bahwa keterlibatan berlebihan TNI dalam menumpas gerakan radikalisme akan memiliki potensi yang sama. Sebab, meluasnya domain militer akan berimplikasi pada penyempitan ruang-ruang sipil.

Atas dasar uraian di atas, kami mendesak beberapa pihak:

Pertama, Panglima TNI untuk mencabut Surat Telegram Panglima TNI Nomor ST/1221/2021;

Kedua, KSAD untuk membatalkan wacana terlibat jauhnya aparat TNI dalam melakukan penangkalan terhadap gerakan radikalisme;

Ketiga, Presiden dan DPR RI segera melakukan reformasi peradilan militer dengan melakukan revisi atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer sehingga bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana dapat diproses dan disuru melalui mekanisme peradilan pidana umum.

 

Jakarta, 24 November 2021
Badan Pekerja KontraS,

 

 

Rivanlee Anandar
Wakil Koordinator

[1] Lihat https://nasional.kompas.com/read/2021/11/23/13231101/telegram-panglima-pemeriksaan-prajurit-tni-di-kpk-polri-kejaksaan-harus-izin

[2] Lihat https://www.kompas.tv/article/234599/soal-radikalisme-ksad-jenderal-dudung-saya-akan-berlakukan-seperti-zaman-pak-soeharto-dulu

[3] Lihat https://kontras.org/2021/01/08/proses-persidangan-kasus-penyiksaan-berujung-kemataian-alm-jusni-penuh-keganjilan-komnas-ham-dan-ombudsman-republik-indonesia-harus-segera-turun-tangan/

[4] Lihat poin satu dan dua Surat Telegram Panglima TNI Nomor ST/1221/2021

[5] Lihat Kompas, https://www.kompas.tv/article/234599/soal-radikalisme-ksad-jenderal-dudung-saya-akan-berlakukan-seperti-zaman-pak-soeharto-dulu

[6] Lihat Pasal 7 ayat (1) UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia

[7] Lihat https://projectmultatuli.org/berburu-anarko-kekerasan-berulang-polisi-kepada-anak-muda-berbaju-hitam/