Cara-Cara Negara Menakuti dan Membungkam Kebebasan Warga

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan menyoroti berbagai langkah Negara untuk mempersempit ruang kebebasan sipil dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Berbagai langkah yang diambil tersebut juga telah terbukti menakuti masyarakat dalam menyampaikan ekspresinya. Hasilnya, iklim demokrasi kita terus memburuk terbukti dari beberapa laporan Internasional seperti The Economist Intelligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia 2019, dan 2021 Democracy Report. Ketiganya menunjukan bahwa kualitas demokrasi telah menunjukkan adanya kemunduran (declining) signifikan yang tidak hanya menyentuh aspek kebebasan sipil dan pluralisme, namun juga fungsi pemerintahan.[1] Terbaru, merujuk pada laporan Freedom House disebutkan bahwa nilai demokrasi Indonesia turun satu angka menjadi 61/100. Secara umum, penurunan nilai tersebut disebabkan oleh turunnya komponen kebebasan sipil dengan nilai 31/60. Adapun beberapa faktor yang menyebabkan turunnya tingkat kebebasan sipil di Indonesia adalah UU ITE yang mengkriminalisasi masyarakat, kekerasan dan intimidasi terhadap kelompok minoritas, meningkatnya ancaman terhadap kebebasan akademik dalam kampus, serta pembatasan berekspresi terhadap orang Papua.[2] Selain itu, merujuk pada data Badan Pusat Statistik, dijelaskan bahwa skor Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) saat ini menyentuh angka 73,66. Angka tersebut turun dari tahun sebelumnya yakni pada tahun 2019 yang mencetak angka 74,92.[3]

Selain berbagai laporan yang menjelaskan bahwa situasi demokrasi Indonesia kian memburuk, kami juga mencatat setidaknya terjadi 393 peristiwa berkaitan dengan pelanggaran kebebasan berekspresi. Adapun tindakan dominan adalah berkenaan dengan penangkapan sewenang-wenang dengan 165 kasus, diikuti oleh pembubaran paksa dengan 140 kasus. Kami juga mencatat bahwa Kepolisian masih menjadi aktor dominan dari ragam pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi ini. Selain itu, sasaran utama dari represi tersebut ialah masyarakat yang sedang mengkritik dan menyeimbangkan diskursus negara.

Adapun kami mencatat beberapa cara negara dalam menakuti-nakuti warga dalam berekspresi tercermin dari berbagai kebijakan/regulasi seperti:

 

Surat Telegram Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1.2020 tentang Penanganan Penghinaan Pejabat dan Hoax Penanganan COVID-19 tanggal 4 April 2020

Pada 4 April 2020, Kapolri saat itu, Jenderal Idham Azis menerbitkan aturan dan instruksi terkait dengan menindak informasi palsu atau hoaks terkait kebijakan pemerintah menangani Covid-19. Instruksi itu tertuang dalam Surat Telegram Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1.2020 per tanggal 4 April 2020.[4] Surat ini tentu sangat berbahaya, sebab akan membuka celah yang sangat besar bagi Kepolisian untuk melakukan tindakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Surat Telegram ini juga semakin memperkuat stigma mengenai pendekatan keamanan dan penegakan hukum yang cenderung dipilih Kepolisian dalam menangani berbagai jenis permasalahan bangsa. Imbauan ini juga semakin melanggengkan serangan-serangan siber seperti tindakan peretasan.

Selain itu, surat telegram yang dikeluarkan oleh Kapolri tersebut seakan membuat masyarakat takut untuk mengkritisi kebijakan pemerintah khususnya berkaitan dengan penanganan COVID-19. Terlebih batasan antara kritik dan penghinaan pejabat hanya didasarkan oleh subjektivitas Kepolisian. Surat Telegram ini juga sangat melampaui tafsir delik penghinaan yang notabene merupakan delik aduan absolut sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Implikasi lain, tentu saja membuat para pejabat semakin besar potensinya melakukan tindakan-tindakan abuse of power sebab jauh dari kritik dan masukan publik.

Salah satu penangkapan terhadap kritik penanganan COVID-19 tercermin dalam kasus Jerinx SID yang menyatakan IDI sebagai kacung WHO. Jerinx kemudian ditetapkan sebagai tersangka pada 12 Agustus 2020 atas dugaan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik.[5] Kasus ini menunjukan terdapat batasan yang kabur antata kritik dan delik ujaran kebencian dan/atau pencemaran nama baik.

 

Surat Telegram Kapolri Nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 tentang Patroli Cyber Isu RUU Cipta Kerja

Kami juga menyoroti secara keras surat telegram yang dikeluarkan Kapolri pada saat ramainya penolakan terhadap RUU Cipta Kerja yang terjadi pada 2020 lalu. Adapun beberapa poin yang tercantum dalam surat telegram tersebut adalah:

  • Meminta agar jajarannya melaksanakan kegiatan fungsi intelijen dan pendeteksian dini guna mencegah terjadinya aksi unjuk rasa dan mogok kerja yang berpotensi terjadinya konflik sosial serta aksi anarkis di wilayah masing-masing.
  • Melakukan pemetaan di perusahaan atau sentra produksi strategis dan memberikan jaminan keamanan dari adanya pihak-pihak yang mencoba melakukan provokasi atau mencoba memaksa buruh ikut mogok kerja serta unjuk rasa.
  • Mencegah, meredam dan mengalihkan aksi unjuk rasa kelompok buruh demi kepentingan pencegahan penyebaran virus corona. Melakukan koordinasi dengan seluruh elemen masyarakat terkait dengan hal ini.
  • Melakukan patroli cyber pada media sosial dan manajemen media terkait dengan pembangunan opini publik. Lakukan kontra narasi isu yang mendiskreditkan pemerintah.
  • Seluruh jajaran di wilayah tidak memberikan izin unjuk rasa dan kegiatan yang menimbulkan keramaian massa. Antisipasi harus dilakukan di hulu dan lakukan pengamanan terbuka serta tertutup.
  • Melakukan pencegahan adanya aksi unjuk rasa yang menyasar penutupan jalan tol. Menerapkan penegakan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal KUHP dan kekarantinaan kesehatan.

Surat Telegram yang dikeluarkan oleh Kapolri saat itu, Jenderal Idham Azis menunjukan watak represif institusi Kepolisian dalam menyikapi suara yang berbeda dengan narasi pemerintah. Selain itu, situasi Pandemi COVID-19 dijadikan sebagai dalih untuk menindak massa aksi, melarang demonstrasi, dan meretas atau melakukan serangan siber terhadap publik, khususnya berkenaan isu penolakan Omnibus Law. Selain itu, Kepolisian seharusnya berdiri di sudut yang netral, dengan mengamankan dan menjamin hak-hak berpendapat masyarakat, bukannya menjadi alat negara untuk terus membatasi ruang-ruang demokrasi.

 

Virtual Police lewat Surat Edaran Nomor: SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.

Salah satu poin dalam surat edaran tersebut adalah pembentukan Polisi Virtual yang tercantum dalam Poin 3 huruf C yang berbunyi: mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.

Kami melihat bahwa dimunculkannya Virtual Police ini telah berimplikasi pada penyusutan ruang kebebasan berekspresi khususnya di ranah digital. Untuk memvalidasi hal tersebut KontraS telah membuat posko #PantauBareng guna mengukur penindakan dan peneguran yang dilakukan oleh polisi virtual. Dari seluruh aduan yang masuk, kami juga mencatat bahwa teguran virtual police menyasar kepada mereka yang aktif mengkritisi pemerintah. Salah satunya terhadap akun Surabaya Melawan. Konten yang mendapatkan teguran adalah publikasi di akun Instagram mereka yang berisi kritik terhadap kerumunan Presiden Jokowi saat berkunjung ke NTT. Selain itu, virtual police juga menegur akun AM, mahasiswa asal Slawi yang mengkritik Walikota Solo, Gibran Rakabumingraka karena dianggap tidak mengerti sepak bola.[6]

Kepolisian selalu mendalihkan bahwa seluruh teguran tersebut bersifat edukatif. Padahal langkah-langkah yang ditempuh virtual police ini bersifat menindak dan mengatur ekspresi warga negara. Seharusnya, penindakan diperuntukkan bagi mereka yang melakukan tindakan kriminal lewat media sosial, seperti penipuan online, menyebarkan konten pornografi, pelecehan secara daring, serta beberapa kasus rasisme. Tetapi, kami tak melihat itikad kepolisian menegur serta memberikan edukasi kepada akun-akun tersebut.

 

Kriminalisasi dengan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan

 Ketentuan ini sebenarnya tidak dikeluarkan dalam jangka waktu 2020-2021. Akan tetapi selama masa Pandemi Kepolisian seringkali menggunakan delik dalam UU Kekarantinaan Kesehatan tersebut sebagai dasar hukum untuk melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat. Salah satu kasus penetapan tersangka dengan menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan tercermin dalam kasus korlap demo mahasiswa di Balikpapan.[7] Ia dianggap melanggar ketentuan pidana karantina kesehatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018.[8]

Kami melihat bahwa negara begitu diskriminatif dalam penggunaan pasal tersebut. Sebagai contoh, kerumunan yang ditimbulkan Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Maumere jelas melanggar protokol kesehatan. Akan tetapi hal tersebut justru diwajarkan. Selain itu, Kepolisian begitu cepat menolak laporan terhadap kasus pelanggaran prokes yang dilakukan Presiden tersebut.[9] Negara juga sebenarnya tidak dapat menggunakan ketentuan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan, sebab tidak ada penetapan secara rinci berdasarkan UU tersebut. Di sisi lain, negara memiliki kewajiban untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup dasar dan makanan hewan ternak.[10] Akan tetapi mandat dari bunyi pasal tersebut tidak dijalankan oleh Negara.

 

Maklumat Kapolri Nomor MAK/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Pebijakan pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona atau Covid-19

Walaupun sudah dicabut saat menuju kondisi new normal[11] maklumat yang dikeluarkan oleh Kapolri ini sangat problematis. Isi Maklumat Kapolri 2020 secara tersurat memang tidak mencantumkan penggunaan sanksi pidana dalam upaya penegakannya, namun jika dilihat dalam isi maklumat angka 3, disebutkan bahwa apabila ditemukan perbuatan yang bertentangan dengan Maklumat ini, maka setiap anggota Polri wajib melakukan tindakan kepolisian yang diperlukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perbuatan-perbuatan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 memiliki konsekuensi sanksi pidana jika merujuk pada peraturan perundang-undangan terkait.[12]

Maklumat ini tentu mengutamakan pendekatan keamanan dan pidana. Padahal pidana seharusnya dijadikan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Selain itu, penanganan COVID-19 semestinya menggunakan langkah-langkah edukasi dan berbasis pemenuhan hak. Maklumat ini juga telah berimplikasi pada over-criminalization, terbukti dari banyaknya orang yang ditangkap dengan alasan melanggar protokol kesehatan.  KontraS mencatat setidaknya terdapat 944 orang telah ditangkap dibawah Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan Kesehatan dan/atau Pasal 218 KUHP karena diduga melanggar PSBB.

 

Surat Telegram Nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 tentang Pelaksanaan Peliputan Bermuatan Kekerasan dan/atau Kejahatan dalam Program Siaran Jurnalistik.

Sebelum akhirnya viral dan dicabut oleh Kapolri, diterbitkannya surat telegram ini tentu ingin menunjukan citra baik Kepolisian dengan cara mempersempit ruang-ruang pers dan jurnalistik. Larangan dalam Surat Telegram tersebut juga akhirnya berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang mengunggah video berkaitan dengan kekerasan dan kinerja buruk Kepolisian.

Somasi yang dilayangkan Pejabat Publik

Sepanjang tahun 2021, kami melihat adanya pola baru yang dilakukan oleh pejabat publik sebagai upaya pembungkaman kritik, yaitu melalui somasi. Di Tahun 2021 setidaknya terdapat dua somasi yang dilayangkan oleh pejabat publik. Pertama, somasi yang dilayangkan oleh Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko kepada Indonesia Corruption Watch (ICW), khususnya Egi Primayogha dan Miftah. Kedua, somasi yang dilayangkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marvest), Luhut Binsar Panjaitan (LBP), kepada Pendiri Lokataru, Haris Azhar dan Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti.

Somasi yang dilakukan oleh pejabat publik semakin menegaskan bahwa pemangku kebijakan saat ini anti kritik. Keduanya sama-sama dilayangkan oleh pejabat publik yang dekat dengan Presiden, isunya berkaitan dengan ekonomi politik, dan keduanya berujung pada pemolisian dengan gugatan yang diajukan seputar pencemaran nama baik, penghinaan, dan berita bohong. Adanya kesamaan pola ini menunjukkan tren baru yang dilakukan oleh pejabat publik dalam menghadapi kritik. Padahal, apa yang dilakukan korban dalam kasus ini merupakan bentuk kritik dan kontrol publik terhadap penyelenggara negara.

Kritik berbasis riset atau kajian, sebagaimana yang dilakukan oleh ICW dan Haris juga Fatia, seharusnya direspon dengan dialog terbuka dan langkah-langkah yang mengedepankan prinsip keterbukaan publik dan humanisme. Namun, kritik berbasis kajian advokasi ini justru direspon secara represif menggunakan ancaman hukum dan kriminalisasi. Substansi dari somasi yang diberikan pun bersifat personal. Padahal, baik Moeldoko maupun LBP seharusnya sadar bahwa mereka tidak dapat melepaskan perannya sebagai pejabat publik. Mereka terikat dengan etika dan kewajiban hukum yang salah satunya adalah dapat dikritik. Resistensi kritik seperti dalam kedua kasus ini mencerminkan wajah pemerintahan yang otoriter, anti kritik, dan tidak demokratis.

 

Pelibatan TNI dan BIN dalam Penanganan Pandemi COVID-19

Kami juga menyoroti eksesifnya militer terlibat dalam penanganan COVID-19. Kami melihat pelibatan TNI mengurusi penanganan COVID-19 adalah bentuk campur tangan terlalu jauh militer terhadap urusan/domain sipil. Kami menduga bahwa TNI dilibatkan untuk menimbulkan situasi ketakutan yang ada di masyarakat. Pelibatan militer dalam penanganan COVID-19 di lapangan juga melanggar ketentuan OMSP dalam UU TNI. Militer yang sejatinya alat negara untuk berperang diseret untuk mengurusi hal-hal teknis yang bertugas di lapangan menertibkan masyarakat yang melanggar protokol kesehatan. Akibatnya, TNI dalam beberapa momentum melakukan tindakan kekerasan. Sebagai contoh, seorang pelajar di NTT menjadi korban penganiayaan anggota TNI dengan alasan melanggar protokol kesehatan.[13] Hal tersebut mempertegas bahwa terlibatnya TNI dalam mengurusi domain sipil akan berpotensi memperlebar ruang kekerasan.

Selain TNI, Badan Intelijen Negara (BIN) juga sangat aktif terlibat dalam penanganan COVID-19.  Hal tersebut salah satunya tercermin dalam instruksi Presiden Joko Widodo yang mengerahkan BIN agar terlibat dalam kegiatan vaksinasi dengan mengetuk pintu rumah warga.[14] Metode door to door yang dilakukan oleh BIN memiliki alasan untuk mempercepat proses vaksinasi dan bisa membantu pemerintah mencapai target herd immunity.[15] Alih-alih mencapai tujuan tersebut, keputusan Presiden ini tentu akan berdampak signifikan terhadap eskalasi ketakutan di tengah masyarakat. Tugas TNI yang sangat jauh merambah ke ranah-ranah teknis bertentangan dengan UU Intelijen.

 

Penghapusan Mural

Salah satu tindakan represif terhadap ekspresi masyarakat yang dilakukan oleh Negara lewat Kepolisian yakni penghapusan mural. Kami mencatat setidaknya 6 mural yang berisikan kritik terhadap pemerintah dihapus oleh Kepolisian, seperti Mural “Tuhan Aku Lapar”, “Jokowi Not Found” dan “Dipaksa Sehat di Negara Sakit”.  Mural berisikan kritik terhadap pemerintah merupakan bentuk akumulasi kemarahan dan kekecewaan publik terhadap kebijakan yang diambil oleh Presiden Jokowi dalam menangani Pandemi. Seharusnya pemerintah justru menerima masukan tersebut dengan terbuka, bukan justru merepresi ekspresi mereka yang dijamin secara konstitusional.

 

Penangkapan Pembentang Poster

Selain Mural yang dihapus, di momen yang berdekatan di tahun 2021, Kepolisian juga menangkap beberapa masyarakat/mahasiswa yang menyampaikan ekspresinya lewat media poster. Salah satu contoh kasusnya adalah penangkapan terhadap seorang peternak yang membentangkan poster bertuliskan “Pak Jokowi Bantu Peternak Beli Jagung dengan Harga Wajar” saat rombongan Presiden Jokowi melintas di Blitar. Selain itu, beberapa mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) juga ditangkap karena membentangkan poster berisikan kritik pada saat Presiden berkunjung ke kampus mereka.

Penangakapan pembentang poster tersebut semakin mempertegas watak represif Kepolisian khususnya terhadap pengkritik pemerintah. Hal tersebut juga menandakan bahwa situasi demokrasi kita terus mengalami regresivitas yang signifikan. Negara lewat aparaturnya begitu aktif menindak ekspresi dengan berbagai metode agar masyarakat bungkam dan tak berani mengkritik kinerja pemerintah.

Selain berbagai kebijakan, regulasi dan tindakan yang dilakukan, negara juga terus membangun wacana yang bertolak belakang dengan semangat demokrasi dan HAM. Hal tersebut tercermin dari wacana pemberian sanksi administratif kepada mereka yang tidak memakai aplikasi Peduli Lindungi selama masa libur Natal 2021 dan Tahun Baru 2022.[16] Wacana ini kian melihatkan bahwa Negara begitu senang menghukum warganya. Padahal hal-hal demikian bisa didekati lewat jalan edukasi. Selain itu, pada november 2021 lalu, Jenderal Dudung ingin memberlakukan cara-cara orde baru dalam menangkal gerakan radikalisme.[17] Hal ini menunjukan bahwa negara terang-terangan ingin menyeret situasi kembali ke dalam rezim otoritarianisme orde baru. Belum lagi wacana penempatan perwira aktif TNI/Polri sebagai PLT Kepala Daerah juga akan sangat berbahaya bagi demokrasi dan HAM.[18] Sebab wacana tersebut akan mengembalikan konsep dwifungsi dan memperbesar pendekatan keamanan di berbagai daerah.

Pola-pola sebagaimana dijelaskan di atas tentu tidak dapat diteruskan, sebab akan memperparah kondisi dan situasi demokrasi di Indonesia tahun 2022. Masyarakat akan semakin takut menyampaikan kritik karena dibungkam dengan berbagai metode. Dengan demikian, Negara akan semakin sewenang-wenang dan jauh dari kritik masyarakat.

Atas dasar uraian di atas, KontraS mendesak berbagai pihak:

Pertama, Presiden Republik Indonesia untuk menghentikan segala bentuk upaya membungkam kritik dan menjamin kebebasan sipil warga negara;

Kedua, Kepolisian Republik Indonesia agar tidak mengeluarkan kebijakan dan regulasi yang membatasi kritik masyarakat seperti halnya Surat Telegram. Selain itu, Kepolisian juga harus berhenti melakukan tindakan represif dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang menyampaikan kritik;

Ketiga, DPR RI untuk melakukan pengawasan secara maksimal terhadap setiap regulasi dan kebijakan pemerintah yang terbukti represif dan membatasi kritik masyarakat.

 

Jakarta, 5 Januari 2021
Badan Pekerja KontraS,

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator

[1] Wasisto Rahardjo Jati, The Situation of Declining Indonesian Democracy in 2021, The Habibie Center, 9 Juni 2021.

[2] Lihat https://freedomhouse.org/country/indonesia/freedom-world/2020

[3] Lihat https://www.kompas.id/baca/riset/2021/09/08/kualitas-demokrasi-indonesia-menurun/

[4] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200405201542-12-490559/kapolri-terbitkan-telegram-soal-penghinaan-pejabat-dan-hoaks

[5] https://news.detik.com/berita/d-5240563/jejak-kasus-jerinx-idi-kacung-who-hingga-dituntut-3-tahun-penjara/2

[6] Selengkapnya https://kontras.org/2021/04/22/pemutakhiran-data-virtual-police/

[7] https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/07/23/korlap-demo-mahasiswa-di-balikpapan-jadi-tersangka-dijerat-uu-kekarantinaan-kesehatan

[8] Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

[9] https://www.suara.com/news/2021/02/26/194532/polisi-dua-kali-tolak-laporan-kasus-prokes-jokowi-ini-kata-pengamat?page=all

[10] Lihat Pasal 55 UU Kekarantinaan Kesehatan

[11] https://nasional.kompas.com/read/2020/06/26/12395951/adaptasi-new-normal-kapolri-cabut-maklumat?page=all

[12] Aliyth Prakasa, Dadang Herli, dan Rena Yulia, Mengkaji Penerapan Sanksi Pidana dalam Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Indonesia, Jurnal Hukum Pembangunan Universitas Indonesia, hlm 775-776.

[13] https://regional.kompas.com/read/2021/07/31/154257578/dandim-ttu-anggota-tni-aniaya-pelajar-sma-karena-langgar-prokes-covid-19?page=all

[14] https://kabar24.bisnis.com/read/20210714/15/1417579/percepat-vaksinasi-bin-kerahkan-intel-ketuk-satu-satu-pintu-rumah-warga

[15] https://kabar24.bisnis.com/read/20210717/15/1418952/presiden-minta-bin-lanjutkan-vaksinasi-pintu-ke-pintu

[16] https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-59759975

[17] https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-013085743/ksad-dudung-abdurachman-akan-terapkan-sistem-era-soeharto-untuk-lawan-radikalisme-tokoh-nu-welcome-orde-baru

[18] https://tirto.id/plt-kepala-daerah-dari-polri-dwifungsi-menjadi-jadi-gkbD