39 Tahun Peristiwa Tanjung Priok 1984: Menagih Janji Negara Menuntaskan Kasus Tanjung Priok!

Senin, 11 September 2023, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama Ikatan Keluarga Korban Peristiwa Tanjung Priok (IKAPRI) melangsungkan pertemuan dengan Komnas HAM Republik Indonesia yang dalam hal ini diwakili oleh Abdul Haris Semendawai, Wakil Ketua Bidang Eksternal; untuk membicarakan mengenai hak korban pelanggaran HAM berat Peristiwa Tanjung Priok 1984. Pertemuan ini dilangsungkan di Ruang Pleno I Kantor Komnas HAM RI, sekaligus dalam momentum peringatan 39 Tahun Peristiwa Tanjung Priok 1984 yang diperingati pada 12 September 2023.

“Kami merasa ada kekosongan inisiatif di Komnas HAM, dimana Komnas HAM harusnya melakukan pengawalan pasca Presiden mengeluarkan pidato yang menegasikan hak korban Tanjung Priok 1984. Sehingga pada hari ini kami bersama korban Tanjung Priok menagih komitmen Komnas HAM untuk turut menentukan langkah dalam menerobos jalan buntu penyelesaian secara berkeadilan dan pemenuhan hak atas pemulihan bagi korban dan pencegahan keberulangan penghilangan paksa dalam peristiwa pelanggaran HAM berat melalui ratifikasi ICPPED”, ujar Dimas Bagus selaku Koordinator KontraS dalam pertemuan tersebut. “Pasca Mahkamah Agung menganulir putusan sidang Pengadilan HAM adhoc atas kasus Tanjung Priok yang membebaskan ke-12 orang terdakwa, korban Tanjung Priok belum juga mendapatkan hak-haknya”, tambahnya.

Ada 13 orang yang hadir dalam pertemuan ini, lima diantaranya korban Tanjung Priok yang terdiri dari Syaiful Hadi, Irta Sumirta, Lia Biki, Anugerah, dan Nelly. Mereka yang tergabung dalam IKAPRI (Ikatan Keluarga Korban Tanjung Priok) memang sudah aktif melakukan audiensi ke lembaga negara untuk kasusnya sejak puluhan tahun yang lalu. “Tahun ini, kami sudah dua kali ke Komnas HAM untuk beraudiensi. Sebelumnya pada sekitar bulan Februari 2023 kami sudah menyampaikan keresahan kami ke Komnas HAM untuk pemenuhan hak-hak kami. Kami berharap Komnas HAM bisa memfasilitasi kami untuk bertemu dengan lembaga negara lainnya seperti Kemenkopolhukam untuk membahas mengenai penyelesaian kasus” ujar Lia Biki, anak Amir Biki, korban Tanjung Priok.

“Korban sudah lelah dengan kekerasan. Pertanggung jawaban dari Negara kepada korban harus tegas”, ujar Syaiful Hadi, seorang saksi yang juga menjadi korban Tanjung Priok. “Kami harus menderita selama puluhan tahun. Pelaku yang diseret bukan dalangnya, korban pun terpecah belah, bahkan setelah kejadian kami mendapat stigmatisasi bahkan mengakibatkan kakak saya (Nuraini) harus dicabut beasiswa PMDK-nya (Penelusuran Minat dan Kemampuan) dari Universitas Indonesia dan tidak diperbolehkan lagi kuliah disana,” ujar Elly anak Bachtiar Johan yang dihilangkan secara paksa saat peristiwa Tanjung Priok 1984. “Kini kami pun harus hidup tanpa keadilan dan pemulihan dari Negara”, tambah Elly. Selain itu, Irta Sumirta, korban kekerasan peristiwa Tanjung Priok juga menambahkan, “sejauh mana langkah Komnas HAM untuk penyelesaian kasus Tanjung Priok dan apa yang akan di tempuh oleh Komnas HAM?”, tanya Irta.

Komnas HAM mengaku telah melakukan beberapa upaya untuk merumuskan penyelesaian kasus Tanjung Priok 1984 dan kasus lainnya. Melalui pernyataannya dalam audiensi, Abdul Haris Semendawai menegaskan sudah ada 17 kasus pelanggaran HAM berat yang telah ditetapkan oleh Komnas HAM dan kesemuanya memiliki hak yang sama mulai dari access to justice hingga pemulihan, termasuk untuk kasus Tanjung Priok 1984 yang tidak disebutkan oleh Presiden Jokowi saat pidato di depan Istana saat pembacaan rekomendasi Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Non-Yudisial.

“Mandat Komnas HAM memang ada pada jalur yudisial yaitu melakukan penyelidikan agar kasus dapat lanjut ke tahap penyidikan hingga ke pengadilan, namun seringkali antar lembaga menyalahkan satu sama lain dalam proses ini”, pungkasnya.

“Selain itu, kami juga telah berkoordinasi dengan LPSK untuk merumuskan langkah pemenuhan hak atas pemulihan bagi korban Tanjung Priok, bahkan kami juga sudah berkomunikasi ke Komisi I DPR RI untuk memberi masukan dan desakan terkait ratifikasi Konvensi Penghilangan Orang Secara Paksa sebagai instrumen yang mencegah keberulangan peristiwa penghilangan paksa”.

Pertemuan ini menjadi “cambuk pengingat” bahwa sudah 39 tahun lamanya, kasus Tanjung Priok 1984 yang dianggap selesai tentu masih menyisakan banyak persoalan serta menjadi bukti absennya pertanggungjawaban Negara untuk memenuhi hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Negara harus memberikan hak korban secara holistik melalui hak atas keadilan, pemulihan, pengungkapan kebenaran maupun jaminan ketidakberulangan agar generasi penerus tidak menjadi korban peristiwa serupa. Dalam hal ini, Komnas HAM sebagai lembaga negara yang independen dan berkontribusi dalam pemajuan hak asasi manusia tentu perlu merumuskan strategi tertentu guna menyelesaikan kasus Tanjung Priok 1984 termasuk berkerja sama dengan lembaga negara lainnya untuk memenuhi hak-hak korban.

Jakarta, 11 September 2023
Badan Pekerja KontraS

Dimas Bagus Arya
Koordinator