Demokrasi Kian Tergerus, Presiden Harus dengarkan Suara Kampus!

Pada tanggal 7 Februari 2023, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengadakan diskusi publik bertajuk “Demokrasi Kian Tergerus, Presiden Harus dengarkan Suara Kampus!” Diskusi publik tersebut dilaksanakan pasca sekitar 64 Perguruan Tinggi se-Indonesia mengeluarkan pernyataan sikap mengenai situasi dan kondisi demokrasi di Indonesia menjelang Pemilihan Umum 14 Februari mendatang.

Diskusi Publik tersebut menghadirkan 3 akademisi sebagai narasumber. yakni Prof. Sulistyowati Irianto dari Universitas Indonesia, Dr. Abdul Gaffar Karim dari Universitas Gadjah Mada dan Dr. Yuanita Aprilandini dari Universitas Negeri Jakarta. Perwakilan mahasiswa yakni Mooch. Rasyid Gumilar dari Universitas Padjadjaran juga hadir sebagai narasumber dalam diskusi publik tersebut.

Para narasumber yang diundang merupakan sivitas akademika dari berbagai universitas yang telah mengeluarkan pernyataan mengenai kondisi dan situasi demokrasi di Indonesia. Para narasumber mengemukakan bahwa suara dari kampus merupakan bentuk keprihatinan akan situasi demokrasi di Indonesia dan berharap bahwa suara tersebut dapat mengisi ruang diskursus publik berkaitan dengan isu-isu pelanggaran etika dan pelanggaran hukum yang mengemuka menjelang Pemilihan Umum mendatang.

Prof. Sulistyowati Irianto menyatakan bahwa kampus-kampus yang telah bersuara, menyatakan pendapat masing-masing dalam kapasitas sebagai lembaga pendidikan yang otonom dan jauh dari konflik kepentingan, bahwa berbagai hal yang kini disuarakan oleh kampus merupakan bentuk keprihatinan para sivitas akademika akan situasi politik belakangan ini.

Pernyataan Prof. Sulis juga diamini oleh Dr. Abdul Gaffar Karim yang menyatakan bahwa pernyataan sikap dari beberapa perguruan tinggi dilatarbelakangi oleh keprihatinan atas kondisi perpolitikan dan situasi demokrasi Indonesia, menurutnya selama ini para akademisi cenderung diam karena adanya atmosfer yang diciptakan oleh pemerintah sehingga membuat para akademisi “sungkan” untuk bersuara.

Pada sisi lain, Dr. Abdul Gaffar tidak menampik akan adanya suara-suara “nyinyir” dari para politisi yang menuding bahwa gerakan para sivitas akademika belakangan ini merupakan gerakan partisan. Menurut Dr. Abdul Gaffar pandangan tersebut merupakan pandangan yang sangat dangkal dan merupakan tuduhan yang tidak berdasar, menurut Dr. Abdul Gaffar “nyinyiran” terhadap pernyataan sikap para akademisi justru muncul dari mereka yang benar-benar partisan.

Lebih lanjut, Dr. Yuanita Aprilandini menyatakan bahwa pernyataan sivitas akademika belakangan ini juga perlu dipandang sebagai bentuk edukasi kepada publik, mengingat kontestasi politik belakangan ini hanya dipenuhi dengan gimmick dan minim edukasi. Oleh karena itu pernyataan sikap para sivitas akademika tersebut perlu dipandang sebagai bentuk edukasi politik kepada warga, bahwa kontestasi politik tidak seharusnya diwarnai berbagai model pelanggaran etika.

Hal menarik dibahas oleh Rasyid Gumilar dari  Universitas Padjadjaran, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran tersebut menyatakan bahwa gerakan berbagai perguruan tinggi hari ini merupakan akumulasi dari keresahan-keresahan masyarakat sipil selama ini. Namun, gerakan tersebut bukanlah puncak dari gerakan masyarakat, menurutnya ke depan akan timbul gelombang gerakan yang lebih besar dari masyarakat Indonesia, dan bahwa pemerintah harus merespon gerakan-gerakan tersebut sebagai bentuk partisipasi publik yang kritis kepada pemerintah.

Pada intinya semua narasumber bersepakat bahwa suara dari kampus akan kondisi demokrasi di Indonesia hari ini merupakan bentuk keprihatinan atas situasi demokrasi yang kian tergerus oleh ulah aparat negara yang secara terang-terangan menunjukkan pelanggaran etik demi kepentingan politik elektoral. Demokrasi yang substantif harus disuarakan dan bahwa kepentingan negara harus dikedepankan lebih daripada sekedar kepentingan elektoral sesaat.

Diskusi Publik dapat ditonton ulang pada

https://www.youtube.com/watch?v=b901ssDU9Dk&ab_channel=KontraS