Laporan Penyiksaan 2020 Dalam memperingati Hari Dukungan bagi Korban Penyiksaan Sedunia 2020

Bertepatan dengan Hari Dukungan bagi Korban Penyiksaan Sedunia 2020, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kembali mengeluarkan laporan Situasi dan Kondisi Praktik Penyiksaan di Indonesia 2019 – 2020. Setiap tahunnya, laporan ini berupaya untuk menyajikan riset dan advokasi kami kepada publik dan berbagai stakeholders terkait kondisi praktik penyiksaan di Indonesia serta berbagai pekerjaan rumah yang masih dimiliki oleh negara menuju penghapusan seluruh praktik penyiksaan dan perbuatan tidak manusiawi lainnya. Dalam menyusun laporan ini, kami menggunakan pemantauan media dan pendampingan kasus, serta laporan jaringan KontraS dari berbagai daerah selama periode Mei 2019 – Juni 2020. Data tersebut kemudian kami analisis dengan instrumen hak asasi manusia yang berlaku secara universal.

Secara umum, kami menemukan bahwa praktik penyiksaan masih terus berlangsung akibat a) Sistem hukum dan peraturan perundang-undangan yang tidak memadai yang ditandai dengan lebarnya jarak (gap) antara peraturan domestik dengan standard internasional hak asasi manusia. b) Kultur kekerasan dan penyiksaan dimana penyiksaan sangat dekat dengan kultur kekerasan di lingkungan aparat penegak hukum, alat-alat negara dan di masyarakat yang menjadikan penyiksaan menjadi hal yang lumrah dan ditoleransi dengan mengatasnamakan keamanan negara dan ketertiban sosial. c) Politik impunitas dan penegakkan hukum yang tumpul.

Dalam periode Mei 2019-Juni 2020, kami menemukan setidaknya 62 kasus penyiksaan. Dari seluruh kasus tersebut, pelaku yang paling dominan ialah polisi (48 kasus), disusul TNI sebanyak 9 kasus, dan terakhir sipir dengan 5 kasus. Dari keseluruhan kasus yang terdata, terdapat 220 orang korban dengan rincian 199 korban luka-luka dan 21 korban tewas. Adapun motif dilakukannya penyiksaan pada umumnya adalah untuk memaksa pengakuan korban (40 Kasus) dan sebagai bentuk penghukuman (23 kasus). Dari seluruh kasus yang masuk dalam pemantauan kami, 34 kasus terjadi di tempat umum sementara 29 kasus terjadi di sel tahanan. Terlebih, mayoritas kasus penyiksaan terjadi pada korban salah tangkap (47 kasus) dibandingkan pada kriminal (16 kasus). Mayoritas penyiksaan dilakukan menggunakan tangan kosong (49 peristiwa) meskipun terdapat pula peristiwa yang menggunakan benda keras, senjata api, listrik, dan senjata tajam untuk memberikan penderitaan kepada korban. 

Hal lain yang menjadi perhatian kami ialah proses penyelesaian kasus-kasus penyiksaan. Demi menjamin kepastian hukum, sudah sepantasnya kasus penyiksaan oleh aparat negara diselesaikan berdasarkan hukum pidana karena penyiksaan merupakan tindak pidana. Namun, data yang kami dapatkan berdasarkan informasi yang kami terima dari institusi Polri dan TNI melalui pengiriman surat permohonan informasi publik serta pemantauan media menunjukan bahwa dari seluruh kasus penyiksaan oleh anggota Polri dan TNI yang masuk dalam pemantauan kami, tidak ada satupun kasus dimana pelaku penyiksaan diproses secara hukum pidana.

Adapun salah satu metode penyiksaan baru yang masuk dalam pemantauan kami tahun ini ialah penyiksaan siber yang dapat berbentuk intimidasi, pelecehan, mempermalukan, memfitnah, atau memanipulasi informasi data korban yang bersifat pribadi. Adapun contoh kasus yang kami anggap masuk dalam kategori penyiksaan siber ialah kasus kriminalisasi terhadap Ravio Patra dan kasus intimidasi terhadap panitia dan pembicara diskusi mengenai pemecatan Presiden oleh CLS UGM. Kami menghubungi kedua pihak untuk memastikan terkait dengan kondisi yang mereka harus hadapi, saat dan pasca, peretasan terjadi. Keduanya mengaku merasa cemas, over-thinking, stress, perasaan tidak tenang akan ada hal serupa yang terjadi di kemudian hari, dan trauma berkepanjangan.

Berdasarkan isi laporan yang telah disampaikan, rekomendasi kami kepada negara ialah agar:

Pertama, Polri, TNI, dan Lembaga Pemasyarakatan memastikan bahwa anggotanya yang terlibat dalam kasus penyiksaan diproses secara adil dan sesuai dengan hukum yang berlaku, dengan mekanisme hukum yang transparan dan dapat diakses oleh publik.

Kedua, Institusi-institusi negara independen yang memiliki mandat untuk melakukan fungsi pengawasan, pemantauan, perlindungan dan pemulihan memastikan adanya mekanisme pencegahan dan penghukuman atas kejahatan penyiksaan yang masih berjalan, serta adanya perlindungan kepada saksi dan korban serta pemulihan hak-hak korban sesuai dengan standar instrumen hukum HAM Internasional

Ketiga, Pemerintah bersama DPR segera merumuskan peraturan perundang-undangan mengenai penghapusan praktik penyiksaan dan tindakan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, yang merendahkan manusia lainnya dengan mengacu pada keseluruhan substansi yang terkandung dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia serta instrumen hukum internasional lain yang melengkapinya.

Keempat, Kepolisian memulai perhatian terhadap penyiksaan siber dan melakukan penelusuran perihal pelaku penyiksaan siber yang melakukan manipulasi informasi, doxxing, dan ancaman supaya kejadian serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari.

Unduh file selengkapnya di sini