Kertas Posisi : Tuntaskan Segudang Problematika Akuntabilitas Intelijen

Kertas Posisi ini tentu tidak bertujuan untuk mendegradasi kerja-kerja intelijen yang secara fundamental memang bekerja dengan berbasis kerahasiaan (secrecy) apalagi meminta agar seluruh kerja intelijen harus diselenggarakan secara terbuka. Akan tetapi, kami sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil di Indonesia yang terus konsisten mendorong agenda reformasi sektor keamanan dan tegaknya nilai demokrasi menganggap penting bahwa penyelenggaraan intelijen mutlak tunduk pada prinsip-prinsip dasar seperti halnya kewargaan (citizenship), akuntabilitas (accountability), partisipasi (participation), dan good governance.

Adapun hasil kerja ini kami harapkan dapat memberikan gambaran kepada publik berkaitan dengan problematika intelijen di Indonesia, serta memberikan data dan analisis sebagai bahan acuan bagi publik untuk memahami serta menyadari permasalahan intelijen yang terjadi. Kertas Posisi ini adalah salah satu upaya mendokumentasikan dan menganalisis permasalahan akuntabilitas intelijen setidaknya selama periode kedua Presiden Joko Widodo.

Berdasarkan beberapa kasus dan fenomena, kewenangan Badan Intelijen yang luas pada berbagai kesempatan disalahgunakan untuk kepentingan politik tertentu. Sebagai contoh ketika Presiden sebagai user dari informasi intelijen menggunakan perangkat dan kekuasaannya untuk memata-matai partai politik. Tindakan tersebut tentu merupakan indikasi penyalahgunaan dan bertentangan dengan desain intelijen profesional.

Pada sisi lain, sering juga ditemukan kasus digunakannya Badan Intelijen untuk melakukan tugas yang berada di luar fungsi intelijen. Pelibatan BIN untuk melakukan sosialisasi R-KUHP menjadi contoh digunakannya lembaga intelijen untuk melakukan tugas pemerintah yang seharusnya menjadi porsi Kementerian di bidang Hukum. Begitupun ketika pemerintah memasifkan pelibatan BIN dalam penanganan COVID-19, terkesan ada disproporsionalitas mengingat BIN tidak ditujukan untuk melakukan sosialisasi dengan metode door to door. Dalam beberapa kasus, BIN memang dapat dilibatkan, tetapi perangkat-perangkat intelijen terkesan digunakan untuk mengekang kebebasan sipil dan mencegah kelompok kritis bersuara seperti halnya pada agenda besar kenegaraan G-20 dan saat muncul demonstrasi besar pada proses pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Masalah penunjukkan Kepala BIN yang terkesan sangat politis dan minimnya akuntabilitas dalam pengadaan alat intelijen juga tak kalah krusial. Jika Pemerintah ingin mendesain BIN sebagai Badan Intelijen yang profesional maka penunjukkan Kepala BIN seharusnya dijauhkan dari kepentingan politik dan dilakukan dengan berdasarkan merit system. Pada sisi lain akuntabilitas harus menjadi perhatian serius yang diutamakan.

Potensi penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran HAM tersebut dapat dengan mudah terjadi mengingat besarnya wewenang yang diberikan oleh undang-undang pada Badan Intelijen dan minimnya pengawasan terhadap Badan Intelijen.

Berangkat dari berbagai permasalahan tersebut, kami mencoba untuk menganalisis dan membandingkan dengan berbagai konsep ideal yang ada dalam tataran internasional. Di akhir kertas posisi ini, kami pun merumuskan berbagai rekomendasi yang harapannya dapat dilakukan oleh berbagai lembaga terkait baik dalam jangka waktu pendek, menengah dan panjang.

Klik disini untuk melihat kertas posisi selengkapnya