“Catatan Seorang Pengagum Munir Said Thalib”

7 September 2004, negara Republik Indonesia menghilangkan sebuah nyawa dengan cara yang sangat keji, dan hingga detik ini, sudah 16 tahun lamanya Negara belum memberikan kepastian tentang pembunuhan Aktivis Munir Said Thalib. Sebagai seorang aktivis hak asasi manusia (HAM), Munir banyak menangani kasus, terutama kemanusiaan dan pelanggaran HAM. Namun sayang, negara ini tak cukup bersahabat dengan HAM, seringkali negara ini abai dengan kasus pelanggaran HAM, seakan negara ini tak takut dihantui oleh rasa bersalah. Munir tewas dibunuh setelah hasil otopsi menyebutkan bahwa ada racun arsenik di dalam tubuhnya. Ia dibunuh di udara.

Ketika menjabat Dewan Kontras, namanya melambung sebagai seorang pejuang membela bagi orang-orang hilang yang diculik. Munir membela aktivis yang hilang karena penculikan yang disebut dilakukan oleh Tim Mawar dari Kopassus TNI AD. Sikap berani dan sigapnya dalam menentang ketidakadilan oleh beberapa pihak pada masa pemerintahan Orde Baru, membuat Munir tak disukai oleh pemerintah. Dirinya menjadi sasaran dan lingkaran merah dari pihak intelijen karena dianggap berbahaya. Munir juga sering mendapat banyak ancaman dari beberapa orang. Namun dirinya tetap tidak gentar terhadap ancaman yang menimpa dirinya.

kematian Munir menggemparkan publik, terutama bagi keluarga dan sahabat-sahabatnya. Terlebih karena eksistensi Munir yang dikenal luas sebagai pegiat HAM.

Penanganan Kasus Munir

Munir yang meninggal di masa transisi pemerintahan yang kala itu antara Presiden Megawati ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai oleh beberapa kolega Munir sebagai kasus yang kurang mendapat perhatian dari Pemerintah.

Atas tuntutan keluarga korban dan desakan keras para pegiat HAM, pemerintah bersama dengan DPR membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir yang anggotanya sengaja terdiri dari kalangan sipil, dengan harapan TPF dapat berfungsi membantu polisi dalam melakukan penyelidikan.

Dalam penyelesaiannya TPF berulangkali mendesak agar penyidikan dipercepat. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kepentingan yang muncul dan upaya yang rawan untuk dipolitisir.

Setelah melalui proses penyelidikan yang panjang, melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta ditetapkan bahwa Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot Garuda Indonesia lah aktor dibalik meninggalnya Munir dan diganjar dengan hukuman vonis penjara selama 20 tahun.

Merasa tidak puas dengan penanganan kasus tersebut, setelah Pollycarpus menjalani masa tahanannya dan keluar dari penjara pada tahun 2014, Suciwati, Istri Munir kembali mengangkat kasus tersebut ke publik melalui pendaftaran permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik kepada Komisi Informasi Pusat (KIP) dengan tuntutan agar termohon Presiden RI melalui Kementerian Sekretariat Negara mengumumkan hasil laporan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus meninggalnya Munir.

Selanjutnya, pada 10 Oktober 2016, KontraS memenangkan gugatan ke KIP dan Kemensesneg harus mengumumkan berkas TPF kasus Munir ke publik. Menanggapi keputusan KIP tersebut, Kemensesneg bukannya mengumumkan hasil TPF tersebut melainkan mengumumkan bahwa Kemensesneg tidak memegang dokumen TPF Munir. Hal ini yang kembali menyebabkan terhambatnya kasus munir.

Apabila kasus ini terus diperpanjang, saya mengkhawatirkan penangangan kasus Munir rawan untuk dipolitisir oleh kelompok tertentu.

Setelah 16 tahun kematiannya, ada satu generasi yang tumbuh dan berkembang di Indonesia dengan pertanyaan serupa dalam benak kepala mereka: Mengapa Munir dibunuh? Bagaimana mungkin negara tempat mereka menjadi warganya membiarkan hal itu terjadi?

Para elite politik Indonesia yang semakin beranjak tua dan lapuk bisa saja berkilah dengan seribu satu alasan untuk terbebaskan dari beban pertanyaan tersebut. Namun, seperti kisah ciuman Judas ribuan tahun lalu, pertanyaan serupa terus hidup dalam benak orang-orang Indonesia masa kini dan dekade-dekade yang akan datang. Kisah ini pula yang tampaknya akan menjadi perhatian sejarawan masa depan untuk menggali “apa yang benar-benar terjadi”.

Bagi generasi masa kini, Munir adalah sosok yang memudahkan mereka menerjemahkan konsep HAM yang universal dalam pengalaman orang-orang Indonesia. Grafiti wajah Munir hadir di pojok-pojok kota, jalan-jalan, kaus, dan lembaran entri di dalam mesin pencari Google.

Orang-orang Indonesia masa kini mengenal sejumlah nama seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan lainnya terkait peran mereka dalam sejarah. Bagi generasi abad ke-21, Munir adalah bagian dari sejarah mereka.

Semasa hidupnya, Munir yang dikenal sebagai pembela HAM pernah menyatakan bahwa, “jadi boleh dikata dalam kasus penculikan ini, substansi pelaku belum terjangkau. Motif penculikan masih dari individu-individu bukan bagaimana rezim ini mempertahankan kekuasaan.

 Mari kita sama-sama lantangkan suara menuntut negara yang berdosa ini untuk terbuka dan menyelesaikan berbagai kasus di September Hitam. Negara ini jangan lari dari tanggungjawabnya, desak presiden Jokowi untuk mengungkap kasus ini.

AKU AKAN ADA DAN TETAP BERLIPAT GANDA – MUNIR SAID THALIB.
AKHIR KATA

Seperti kita ketahui bersama, perjalanan panjang bangsa Indonesia – khususnya masa pemerintahan Orde Baru tidak terlepas dari rangkaian tindakan kekerasan yang berujung pada peristiwa pelanggaran HAM. Seiring dengan semangat reformasi, cita-cita bersama tentang pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM pula yang melatarbelakangi lahirnya berbagai regulasi tentang HAM, institusi Komnas HAM serta keberadaan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Namun dalam kenyataannya, masa 22 tahun reformasi ini belum mampu menjawab rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Pemenuhan atas hak kebenaran, keadilan serta reparasi bagi korban pelanggaran HAM tak pernah terwujud. Pengadilan HAM hingga Mahkamah Agung telah membebaskan para pelaku. Institusi pengadilan pula yang mengabaikan pemenuhan hak korban atas reparasi. Sementara saat ini, beberapa kasus pelanggaran HAM terhambat di Kejaksaan Agung akibat debat penafsiran pasal 43 dalam UU Pengadilan HAM. Meski Mahkamah Konstitusi telah memutuskan tafsir pasal tersebut yang secara tidak langsung memerintahkan Kejaksaan Agung untuk segera melakuan penyidikan, namun Jaksa Agung tak juga lakukan langkah hukum tersebut. Padahal jelas, Presiden menyatakan bahwa seluruh insitusi negara harus mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Di antara sekian banyak kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi, dalam tulisan ini saya bermaksud meminta Bapak Menteri Yasona Laoly untuk memberikan perhatian atas perkembangan atas berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu, yaitu kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998, kasus Tanjung Priok tahun 1984, Tragedi Semanggi II, 24 September 1999, Reformasi di Korupsi, 24 September 2019, serta tragedi 1965-1966.

NAMA PENULIS          : MUHAMMAD GILANG ALIFANDRI HASANUDDIN
TTL                                : KENDARI, 21 JUNI 2000
ASAL UNIVERSITAS   : S1 UNIVERSITAS HASANUDDIN, JURUSAN TEKNIK SIPIL