Catatan Kritis 20 Tahun Penerapan UU Pengadilan HAM (2000-2020): Mengkaji UU Pengadilan HAM yang Efektif

Ringkasan Eksekutif
Catatan Kritis 20 Tahun UU Pengadilan HAM
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, 2020

 

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memberi perhatian khusus pada perjalanan kerangka kerja keadilan transisi di Indonesia, salah satunya dalam aspek penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat melalui Pengadilan HAM ataupun Pengadilan HAM Ad Hoc. Secara normatif, proses ini sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM). Namun, dari 15 kasus pelanggaran HAM berat yang penyelidikannya telah dirampungkan oleh Komnas HAM, baru tiga kasus yang sampai saat ini sudah diadili oleh Pengadilan HAM, sementara 12 kasus lainnya masih terhambat di tahap penyelidikan. Tiga kasus yang sudah diadili pun belum mampu menghadirkan rasa keadilan bagi masyarakat, dengan banyaknya pelaku yang tidak dihukum. Terhambatnya proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat kemudian turut menghambat aspek-aspek lain dalam kerangka kerja keadilan transisi, yani pemulihan korban dan reformasi kelembagaan untuk menjamin ketidakberulangan peristiwa.

Salah satu masalah yang paling jelas terlihat dalam penerapan UU Pengadilan HAM ialah minimnya political will dari Pemerintah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat secara yudisial. Hal ini terlihat dari keengganan Jaksa Agung dalam memulai proses penyidikan terhadap 12 berkas penyelidikan pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM, serta gencarnya upaya-upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui jalur non yudisial seperti wacana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN) di tahun 2017, Deklarasi Damai Talangsari di tahun 2019, dan yang terbaru adalah opsi penghidupan kembali lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD yang masih sarat dengan tendensi menghindari penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat secara yudisial.

Dalam kondisinya saat ini, UU Pengadilan HAM bukannya menjadi mekanisme penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat, justru mengakomodir kepentingan politik negara untuk menghindari pertanggungjawaban kasus-kasus pelanggaran HAM berat melalui Pengadilan HAM, atau dengan kata lain mengakomodir impunitas.  Hal ini dikarenakan adanya berbagai celah hukum yang berujung pada penundaan yang berlarut-larut dalam proses hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat, yakni ambiguitas ketentuan mengenai definisi dan tujuan penyelidikan, tidak adanya batas waktu bagi penyidik untuk menentukan berkas penyelidikan Komnas HAM sudah bisa dilanjutkan ke tahap penyidikan atau masih harus dilengkapi, sampai tidak adanya pengaturan mengenai mekanisme penyelesaian perselisihan pendapat antara Komnas HAM sebagai penyelidik dengan Jaksa Agung sebagai penyidik. Wewenang Komnas HAM sebagai penyelidik pun sangat terbatas, yakni penyelidikan dan tanpa memiliki wewenang melakukan upaya paksa berupa pemanggilan secara paksa, penangkapan, dan penahanan. Padahal, ciri-ciri pelanggaran HAM berat salah satunya adalah adanya keterlibatan aktor negara, sehingga proses penyelesaiannya harus sebisa mungin dilakukan oleh lembaga independen.

Selain itu, kami juga mencatat adanya ruang intervensi politik dalam proses penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM berat. Berdasarkan hukum acara yang diatur dalam UU Pengadilan HAM, proses penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh Jaksa Agung. Hal ini menyebabkan proses penyidikan dan penuntutan tersebut bergantung pada kebijakan politik negara terkait pelanggaran HAM berat. Meskipun secara teoritis Jaksa Agung merupakan penegak hukum yang tidak seharusnya dapat diintervensi oleh kepentingan politik, namun pada praktiknya arah kebijakan Kejaksaan turut dipengaruhi oleh kebijakan politik negara. Hal ini kemudian diperparah dengan ditempatkannya beberapa terduga pelaku pelanggaran HAM berat pada posisi-posisi strategis negara yang baik secara langsung maupun tidak langsung memiliki akses untuk turut menentukan arah kebijakan politik negara, termasuk soal penyelesaian pelanggaran HAM berat. Ruang intervensi politik semakin kental dalam mekanisme pembentuka Pengadilan HAM Ad Hoc berdasarkan Keputusan Presiden setelah mendapat rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Unduh Laporan selengkapnya di sini