Laporan Situasi Praktik Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia di Indonesia Periode Juni 2020 – Mei 2021

Pelaku Penyiksaan Bebas, Negara Melanggengkan Impunitas

Dalam rangka memperingati Hari Dukungan bagi Korban Penyiksaan Sedunia 2021, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kembali merilis laporan Situasi dan Kondisi Praktik Penyiksaan di Indonesia. Setiap tahunnya dalam 10 tahun terakhir, laporan ini kami tujukan untuk memberikan gambaran pada publik dan beberapa stakeholders, berkaitan dengan riset maupun advokasi KontraS yang menyasar pada situasi penyiksaan dalam satu tahun kebelakang. 

Secara ringkas, kami menemukan sejumlah sebab perihal peristiwa penyiksaan yang tak kunjung henti, yakni: a. Tindakan pengawasan yang tidak pernah dilakukan secara ketat dan menyasar pada akar masalah. Lebih jauh, terdapat pembiaran yang dilakukan oleh atasan terhadap beberapa tindakan penyiksaan; b. Penegakan hukum (law enforcement) yang tidak menjerakan pelaku penyiksaan. Bahkan, dalam beberapa kasus, pelaku lepas dari hukuman dan menikmati ruang-ruang impunitas; c. Penyiksaan yang merupakan bagian dari kultur kekerasan masih dinormalisasi di tengah-tengah masyarakat. Paradigma masyarakat justru masih mendukung aparat melakukan tindakan penyiksaan dengan motif penghukuman, semisal dalam kasus pelaku begal; d. Instrumen hukum positif Indonesia yang belum mengakomodir tindakan penyiksaan atau mengkriminalisasi penyiksaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), delik penyiksaan bahkan belum diatur. Mayoritas kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat biasanya hanya dijerat dengan tindak pidana penganiayaan biasa.

Di Indonesia norma yang ada terkait penyiksaan masih belum memadai karena tidak mengatur berkaitan dengan: (1) definisi penyiksaan yang masih sporadis (2) bagaimana mekanisme untuk mempertahankan hak untuk bebas dari penyiksaan; (3) sanksi apa yang diberikan kepada pelaku jika hak tersebut dilanggar; dan (4) kompensasi apa yang diberikan kepada korban penyiksaan.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh KontraS melalui kanal media informasi, advokasi, serta jaringan-jaringan KontraS di daerah, pada periode Juni 2020 – Mei 2021, terdapat 80 kasus penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia telah terjadi di Indonesia. Angka tersebut tentu saja tidak menutup kemungkinan jumlah kasus riil yang lebih besar. Adapun dari total 80 kasus penyiksaan yang tercatat oleh KontraS, diambil dari data pemantauan media, advokasi, serta jaringan, kepolisian masih menjadi aktor utama dalam kasus-kasus penyiksaan, yakni sebanyak 36 peristiwa. Setelah itu, disusul oleh kejaksaan sebanyak 34 kasus, yang mana didominasi oleh peristiwa penghukuman cambuk di Aceh. Selanjutnya, kasus penyiksaan juga masih dilakukan oleh Institusi TNI (AD, AL, AU) sebanyak 7 kasus dan sipir sebanyak 3 kasus. 80 kasus tersebut menimbulkan sebanyak 182 korban dengan rincian 166 korban luka dan 16 korban tewas. Sementara itu, sebaran wilayah peristiwa praktik penyiksaan dan tindakan manusiawi di Indonesia begitu beragam. Kasus penyiksaan tertinggi terjadi pada wilayah Aceh (34 Kasus), Papua (7 Kasus) dan Sumatera Utara (5 kasus). Bentuk-bentuknya pun beragam, mulai dari penyiksaan dalam tahanan, salah tangkap, penangkapan secara sewenang-wenang, tindakan tidak manusiawi, hingga pembiaran terhadap praktik-praktik penyiksaan.

Dilihat dari motifnya, penyiksaan dan perlakuan kejam lainnya baik untuk mendapatkan pengakuan atau penghukuman telah menimbulkan total sebanyak 182 korban, dengan rincian:

  1. Penyiksaan dan perlakuan kejam untuk mendapatkan pengakuan menimbulkan sebanyak 21 korban luka dan 10 korban tewas
  2. Penyiksaan dan perlakuan kejam sebagai bentuk penghukuman menimbulkan sebanyak 145 korban luka dan 6 korban tewas.

Selain itu, kami juga menemukan bahwa alat yang digunakan oleh aparat dalam melakukan tindakan penyiksaan dan perlakuan kejam lainnya masih cenderung beragam. Berdasarkan pematauan media yang kami lakukan, benda keras menjadi instrumen dominan dalam melakukan penyiksaan dan perlakuan kejam lainnya, yakni sebanyak 42 peristiwa. Benda keras dimaksud seperti halnya pentungan, tameng kepolisian, atau rotan. Adapun kami melihat bahwa praktik Cyber Torture terus berlanjut. Setidaknya ada pola yang berulang dari kasus-kasus cyber torture ini, yakni adanya peretasan yang dilakukan secara sistematis dan massal. Selain itu, pelaku juga melakukan penyerangan siber terarah (targeted digital attack). Kasus-kasus tersebut pun dilatarbelakangi oleh motif politik yakni pihak-pihak yang secara lantang menyeimbangkan diskursus pemerintah (Kasus Papuan Lives Matter, Aktivis Menolak Omnibus Law, Kritik terhadap penanganan COVID-19, dan Kasus TWK KPK). Sementara itu, Negara pun sangat pasif dalam merespon beberapa peristiwa tersebut. 

Jika dilihat dari dari kecenderungan praktik penyiksaan yang telah dipaparkan di atas, mulai dari aktor, motif, metode, lokasi penyiksaan, selama bertahun-tahun pola yang terbentuk masih sama. Hal ini menunjukkan tidak upaya perbaikan secara signifikan dan serius yang dilakukan oleh Negara. Kami juga melihat bahwa kecenderungan impunitas semakin menguat. Hal tersebut dapat tecermin dari penyelesaian kasus penyiksaan yang tidak dilakukan secara berkeadilan. Mayoritas kasus berhenti pada mekanisme internal institusi belaka yang tidak menjawab keadilan bagi korban. Selain itu, jalan lainnya seperti dipaksa untuk berdamai, ketiadaan respon dan jawaban dari aparat hingga diintimidasi untuk mencabut laporan merupakan realita pahit yang harus diterima oleh korban beserta keluarganya.

Kami juga menemukan kekerasan yang dilakukan sipir dalam lembaga pemasyarakatan terus terjadi dengan tujuan untuk menertibkan narapidana. Akan tetapi tidak adanya sanksi yang dijatuhkan kepada sipir yang melakukan tindakan penyiksaan. Jalan penyelesaian yang didahulukan adalah perdamaian. Selain itu, praktik pembiaran terhadap pertikaian antar narapidana di dalam lapas juga kerap dilakukan sebagai bentuk penghukuman. Masalah lainnya yang tak kunjung diselesaikan adalah overcapacity lapas, minimnya akses terhadap kesehatan baik fisik maupun mental, dan alokasi biaya yang tidak mausiawi. 

Berdasarkan isi laporan yang telah disampaikan, rekomendasi kami adalah:

Pertama, dalam hal peningkatan akuntabilitas dan perbaikan, institusi yang dominan terhadap terjadinya praktik-praktik penyiksaan, seperti TNI, Polri, dan Lapas sudah saatnya membuka diri untuk evaluasi secara menyeluruh dengan melibatkan pengawasan eksternal.

Kedua, dari segi regulasi, pemerintah harus segera menginisiasi suatu perumusan peraturan perundang-undangan nasional mengenai penghapusan praktik penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia sesuai dengan mandat UNCAT. 

Ketiga, Negara harus secara serius mengusut pelaku-pelaku cyber torture seperti peretasan, doxing, stigma, diskriminasi, dan bentuk penyiksaan siber lainnya. Bentuk pembiaran terhadap praktik-praktik tersebut tidak boleh diteruskan karena akan menimbulkan keberulangan. 

Keempat, institusi-institusi negara independen yang memiliki mandat untuk melakukan fungsi pengawasan, pemantauan, perlindungan dan pemulihan secara ketat harus menggunakan alat ukur terpercaya (salah satunya mekanisme vetting) untuk mempersempit ruang gerak para pelaku kejahatan penyiksaan. 

Kelima, dalam rangka pembenahan Lembaga Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM selaku pihak yang berwenang harus merumuskan strategi khusus untuk mengurangi kekerasan yang terjadi di Lapas. 

Jakarta, 25 Juni 2021
Badan Pekerja KontraS,

Fatia Maulidiyanti

Koordinator

klik disini untuk melihat Laporan selengkapnya