Menyoal Mekanisme Sidang Kode Etik Kepolisian Republik Indonesia

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) selaku lembaga yang memiliki fokus terhadap isu reformasi sektor keamanan, khususnya dalam perbaikan institusi kepolisian, memberi perhatian khusus terhadap pengaturan serta mekanisme Sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Republik Indonesia (KKEP). KontraS melihat bahwa pelanggaran etik yang berkelindan dengan pelanggaran pidana dimana anggota kepolisian sebagai aktornya, selama ini belum diselesaikan secara memadai. Mekanisme peradilan etik dalam institusi kepolisian masih sangat jauh dari berkeadilan dan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Sidang KKEP justru dijadikan celah impunitas bagi pelaku dan legitimasi agar lari dari pertanggungjawaban seutuhnya. Adapun kami menemukan bahwa mekanisme peradilan KKEP tidak memberikan pemulihan yang efektif (effective remedies) bagi para korban pelanggaran yang dilakukan anggota kepolisian.

Mekanisme KKEP merupakan suatu wadah yang dibentuk di lingkungan Polri yang bertugas memeriksa dan memutus perkara dalam persidangan pelanggaran KEPP sesuai dengan jenjang kepangkatan.[1] Adapun KKEP dapat menyelenggarakan sidang untuk memeriksa serta memutus perkara pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri.[2] Artinya, KKEP memiliki watak lembaga peradilan (yudisial), sebab diberikan kewenangan untuk menjatuhkan putusan yang bersifat final dan mengikat (legally binding). Jika menarik konteks peradilan etik di dalam institusi kepolisian, sebenarnya Polri sudah memiliki regulasi tersebut. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap KEPP). Akan tetapi, dari regulasi yang ada, kami melihat masih banyak substansi muatan yang butuh perbaikan. Konsep peradilan etik Polri harus dirancang menuju ke arah konsep pemolisian demokratis (community policing). Merujuk pada dimensi etik dalam implementasi konsep democratic policing, institusi kepolisian baik sendiri maupun bersama institusi di luarnya harus membuat indikator tentang apa yang diinginkan oleh stakeholders. Indikator tersebut biasanya tertuang dalam bentuk regulasi, misalnya indikator perlindungan terhadap HAM, indikator penanganan aksi demonstrasi, indikator tentang akuntabilitas, dan lain-lain.[3] Hal ini ditujukan agar polisi dalam menjalankan tugasnya selalu menggunakan ukuran-ukuran yang jelas sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan perlindungan HAM.

Kami menilai, perlu dirancang sebuah mekanisme peradilan etik yang ideal. Pasalnya, Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang diatur saat ini tidak menjawab permasalahan yang ada dan dirasa tidak memberikan keadilan bagi para korban. Salah satu permasalahannya terletak pada mekanisme yang dibuat dengan tidak transparan, sebab selama ini sidang etik cenderung dijalankan secara tertutup. Padahal, peradilan mengenal asas sidang terbuka untuk umum, dimana masyarakat berhak mengetahui proses jalannya persidangan, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. Ketentuan mengenai sidang Komisi Etik harus terbuka untuk umum sebenarnya telah diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap No. 19/2012). Tetapi dalam praktiknya, Sidang KKEP masih saja diselenggarakan dengan tertutup. Jika melihat sidang etik yang diselenggarakan oleh institusi lain seperti halnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seluruh prosesnya bahkan dapat diliput oleh media.

Problematika lainnya yakni belum ada regulasi atau mekanisme pemberian akses terhadap keterbukaan informasi. Keterbukaan atau transparansi yang dimaksud adalah akses yang disediakan untuk mengikuti proses jalannya sidang. Selain itu, dalam hal akses informasi terhadap putusan sidang etik, sampai saat ini juga masih sulit untuk didapatkan. Padahal, dalam ketentuan Pasal 3 Perkap No. 19/2012, dijelaskan bahwa pelaksanaan sidang KKEP harus menerapkan prinsip transparan dan dilakukan secara jelas, terbuka, dan sesuai prosedur.

Adapun pengaturan yang belum jelas lainnya adalah bagaimana jalan korban untuk mengakses bentuk pemulihan. Pelanggaran etik yang dilakukan oleh Kepolisian tentu saja dapat menimbulkan kerugian materil atau imateriil bagi korban. UU Perlindungan Saksi dan Korban mengatur bahwa bentuk pemulihan seperti kompensasi, restitusi dan rehabilitasi baru dapat diberikan dalam konteks pidana dan belum mengakomodir dalam hal ranah etik.[4] Maka dari itu, format penyelesaian secara etik ini masih jauh dari orientasi pemberian keadilan bagi korban. Selain itu, permasalahan yang ada selama ini dalam mekanisme KKEP juga menyimpangi prinsip-prinsip negara hukum. Dalam konsepsi negara hukum (rechtstaat), kepastian hukum (legal certainty) merupakan unsur yang paling esensial. Kepastian hukum merupakan simpul dari semua produk hukum yang berhubungan dengan hak dan kewajiban dari unsur-unsur masyarakat.[5]

Berdasarkan hal tersebut di atas, melalui Kertas Posisi ini, KontraS menuliskan catatan kritis terhadap Perkap No. 14/2011. Dalam menganalisis kebijakan itu, kami menggunakan perspektif hak asasi manusia yang mencoba melihat celah hukum yang ada dalam peraturan tersebut. Selain itu, kami juga coba menggali hal apa saja yang belum ideal dari mekanisme sidang kode etik Polri saat ini.

[1] Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Kode Etik Profesi Kepolisian Republik Indonesia, Perkap No. 14 tahun 2011, Ps. 1 angka. 6.

[2] Ibid., Ps. angka 7.

[3] Sutrisno, Chairul MS, Zulkarnain Koto, Impelementasi Democratic Policing di Indonesia (Kasus 5 Polda), Jakarta: Kompolnas, 2014, hlm. 13.

[4] Merujuk pada definisi korban dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban yakni orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

[5] Joko Sasmito, Pengantar Negara Hukum dan HAM, hlm. 6.

Klik disini untuk mengunduh kertas posisi selengkapnya