Laporan Hari TNI 2021: TNI Makin Masif Mencampuri Domain Sipil

Seiring dengan Hari Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang jatuh setiap tanggal 5 Oktober, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) secara rutin mengeluarkan catatan tahunan terkait kinerja dan kualitas unsur pertahanan Republik Indonesia yang dimandatkan kepada institusi TNI. Tahun ini, KontraS hendak menyampaikan beberapa catatan yang telah rangkum sepanjang bulan Oktober 2020 – September 2021 berkaitan dengan kelembagaan TNI, termasuk diantaranya angka pelanggaran HAM oleh TNI, keterlibatan masif TNI dalam ranah sipil, masifnya sekuritisasi di Papua, dan juga reformasi peradilan militer yang masih jalan di tempat.

Secara umum, dalam periode Oktober 2020 – September 2021 KontraS menemukan setidaknya terdapat 54 peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan ataupun melibatkan anggota TNI. Peristiwa tersebut mengalami penurunan dari jumlah kekerasan dan pelanggaran HAM pada tahun 2019 – 2020 yang berjumlah 76 peristiwa. Angka tersebut tersebar pada 20 Provinsi dan mengalami kenaikan sebanyak 1 Provinsi dalam tahun 2019 – 2020. Provinsi Papua menjadi wilayah yang paling dominan terjadinya kasus kekerasan sebanyak 9 peristiwa dan disusul oleh Sumatera utara dengan 7 peristiwa. Dalam peristiwa yang terjadi di Papua, setidaknya menimbulkan 8 orang korban tewas dan 13 orang mengalami luka-luka. Perlu digaris bawahi bahwa fenomena kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua harus dianggap sebagai fenomena gunung es dikarenakan minimnya akses informasi mengenai situasi dan kondisi yang terjadi di Papua serta narasi terkait beberapa kasus yang didominasi oleh narasi negara. Selanjutnya kami juga memberikan catatan bahwa aktor kekerasan paling dominan dalam tubuh TNI tetap dipegang oleh TNI AD (39 peristiwa) disusul oleh TNI AL (14 peristiwa) dan TNI AU (1 peristiwa).

Kami juga mencatat setidaknya terdapat 65 orang luka-luka, 17 orang tewas, 12 orang ditangkap, dan 4 lainnya (terkait kerugian, intimidasi, dan pengrusakan beda fisik). Adapun dalam peristiwa tersebut 3 orang merupakan seorang jurnalis yang (2 peristiwa penganiayaan dan 1 tewas) akibat upaya kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI. Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya kuasa yang sangat besar dimiliki oleh institusi TNI sehingga anggotanya berlaku arogan terhadap masyarakat sipil, jurnalis bahkan aktivis. Idealnya, kuasa yang besar harus dibarengi dengan mekanisme akuntabilitas dan pengawasan yang baik, namun hal tersebut belum kami temukan dalam tubuh TNI.

Selanjutnya kami juga memberikan perhatian terhadap keterlibatan masif TNI dalam ranah sipil. Dalam hal ini kami melihat bahwa pelibatan berlebihan TNI dalam penanganan COVID-19 telah berimplikasi pada kekacauan dan penegakan hukum yang eksesif. Kami melihat bahwa pelibatan TNI dalam mengurusi penanganan COVID-19 adalah bentuk campur tangan terlalu jauh militer terhadap urusan/domain sipil. Pelibatan TNI dalam ranah domain sipil dapat menimbulkan situasi ketakutan yang ada di masyarakat, terlebih lagi berdasarkan pemantauan kami, dalam kurun waktu Oktober 2020 – September 2021 setidak-tidaknya terdapat 47 peristiwa penindakan yang melibatkan aparat TNI. Secara rinci, tindakan tersebut berupa 20 kali penyegelan, 26 kali pembubaran paksa, dan 1 kali pengerahan kendaraan taktis milik militer.

Kami juga melihat bahwa salah satu upaya keterlibatan TNI merangsek ke urusan sipil ditunjukkan dengan penempatan perwira aktif pada jabatan-jabatan sipil seperti BUMN dan ahli staf kementrian. Dalam kurun waktu Oktober 2020 – September 2021, kami menemukan setidaknya terdapat 6 pengangkatan perwira aktif pada jabatan sipil. Selain hal tersebut, pelibatan lainnya yang kami anggap sebagai tindakan eksesif adalah pengamanan terhadap massa aksi, kami mencatat setidaknya terjadi 8 kali pengerahan aparat gabungan yang terdiri dari TNI/Polri dengan jumlah besar dalam upaya mengamankan jalannya demonstrasi. Salah satu pengerahan kekuatan berlebihan terjadi pada pengamanan aksi 13 Oktober 2020 yang menolak pengesahan UU Cipta Kerja. Terakhir, adalah pengaktifan komponen cadangan yang merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh institusi TNI dalam keterlibatannya di ranah sipil. Langkah tersebut sangatlah gegabah dan tidak mengedepankan urgensi yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Adapun kerangka pengaturannya juga problematis sebab mengancam hak-hak konstitusional warga negara dan mengganggu kehidupan demokrasi.

Atas dasar permasalahan yang telah dijabarkan di atas, dalam momentum HUT TNI tahun 2021 ini, KontraS mendesak:

Pertama, Panglima TNI harus segera mengevaluasi secara utuh dan komprehensif permasalahan yang ada dalam institusi. Panglima bisa memulai dari peningkatan kerja pengawasan untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran. Selain itu, pelanggaran yang dilakukan oleh aparat TNI, khususnya berkaitan dengan kekerasan harus diusut secara tuntas dan berkeadilan lewat mekanisme hukum yang akuntabel. Sistem tersebut harus dibangun demi meminimalisir kultur kekerasan dalam institusi serta mencegah terjadinya keberulangan.

Kedua, Panglima TNI harus bersikap tegas dalam berbagai upaya pengembalian TNI pada ranah sipil. Demi mewujudkan TNI yang lebih profesional, maka Panglima harus merumuskan batasan yang jelas dan ketat mengenai perbantuan tugas militer pada tugas sipil. Harus diingat bahwa keterlibatan militer dalam kerja pengamanan adalah last resort sehingga ukuran keterlibatannya harus dirumuskan. Meluasnya peran-peran militer tentu akan berimplikasi pada menyusutnya ruang sipil.

Ketiga, pemerintah lewat Kementerian Pertahanan memberhentikan proses perekrutan Komponen Cadangan. Selain itu, wacana Komponen Cadangan saat ini harus dikaji ulang, mengingat landasan hukumnya bermasalah serta akan menimbulkan beberapa dampak tidak baik di masyarakat.

Keempat, Pemerintah dan DPR harus mengoreksi pendekatan militeristik selama ini di Papua. Penurunan aparat dengan skala besar harus berbasis urgensi. Selain itu, pendekatan penyelesaian konflik yang dipilih selama ini harus dievaluasi karena nyatanya tak berdampak signifikan bagi situasi kemanusiaan di Papua.

Kelima, ​​Panglima TNI bersama dengan pemerintah dan DPR RI segera mendorong dan membahas agenda reformasi peradilan militer. Agenda ini merupakan hal yang mendesak agar peradilan tak lagi dijadikan sebagai sarana legitimasi impunitas. Sistem atau mekanisme hukum yang berlaku harus dipastikan mengikuti prinsip imparsialitas, independensi dan kompeten.

Jakarta, 05 Oktober 2021

 

Rivanlee Anandar
Wakil Koordinator KontraS

Klik disini untuk melihat laporan selengkapnya