Meninjau Pemulihan Negara atas Pelanggaran Kebebasan Beragama, Beribadah, dan Berkeyakinan

Problem kekerasan terhadap kebebasan berkeyakinan, beragama, dan beribadah di Indonesia masih menemui masalah yang berulang. Secara umum, permasalahan tersebut berasal dari kebijakan existing yang diskriminatif hingga perlindungan dari aparat negara terhadap kelompok minoritas keagamaan. Pada beberapa peristiwa kekerasan atas nama agama, individu/kelompok minoritas keagamaan tidak mendapatkan mekanisme pemulihan yang maksimal. Akibatnya, peristiwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama, berkeyakinan, dan beribadah terus berulang dari waktu ke waktu.

Hal ini bisa dilihat pada serangan terhadap komunitas keyakinan atau agama minoritas, seperti komunitas Ahmadiyah, Syiah, serta komunitas minoritas keagamaan lainnya di Indonesia. Serangan tersebut hadir dalam berbagai bentuk, seperti pelarangan pembangunan tempat ibadah atau aktivitas beribadah kelompok minoritas, intimidasi dalam bentuk verbal, bahkan praktik kekerasan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Sementara itu dengan masih terjadinya pelanggaran kebebasan beragama, berkeyakinan, dan beribadah, Polri sebagai institusi negara yang terdepan juga menunjukkan pembiaran pada sejumlah kasus kekerasan yang terjadi. Pada dasarnya, Polri tidak dibenarkan atas dasar apapun memperlihatkan posisi yang tidak netral terhadap suatu kelompok masyarakat tertentu. Sayangnya terlihat dengan gamblang bahwa dalam kasus-kasus kekerasan berlatar belakang agama, Polri cenderung gamang bila menghadapi sekelompok massa dengan beratribut agama, seperti pada kasus penyegelan terhadap Masjid Ahmadiyah di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.

Kekerasan terhadap kebebasan berkeyakinan, beragama, dan beribadah ini juga mengundang keprihatinan komunitas internasional – baik dari organisasi HAM internasional maupun wakil pemerintah negara lain—mengingat dalih diplomasi Indonesia di forum-forum internasional yang selalu membanggakan praktik pluralisme dan toleransi beragama di tingkat domestik.[1] Keengganan pemerintah Indonesia untuk mencegah kekerasan terhadap minoritas agama atau mengadili mereka yang bertanggung jawab memiliki konsekuensi pada keberulangan peristiwa. Kendati Komisi Hak Asasi Manusia PBB menyatakan dalam General Comment 31, tentang kewajiban negara dalam melindungi kebebasan beragama, namun pada level implementasi sejumlah peraturan perundang-undangan baik di tingkat nasional maupun daerah justru “mempromosikan” diskriminasi.

Masalah hak atas berkeyakinan, beragama, dan beribadah yang ditandai oleh radikalisasi sentimen agama dan kebencian terhadap kelompok minoritas agama, tidak bisa dipungkiri merupakan hasil turunan dari kebijakan politik negara yang ambigu. Pemerintah pusat nampak gamang ketika terdapat kebijakan turunan atau kebijakan lokal yang justru bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM dan kebebasan berkeyakinan. Secara normatif, hak atas kebebasan beragama dan beribadah di Indonesia diatur dalam Pasal 28E UUD 1945, Pasal 18 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 22 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Pasal 4 UU HAM bahkan menyatakan bahwa hak beragama merupakan salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable right).

Namun, sepanjang pemantauan KontraS, pemulihan Negara terhadap korban tidak menjawab permasalahan sistemik yang menghantui kebebasan beragama, berkeyakinan, dan beribadah kelompok minoritas keagamaan. Dalam konsepsi hak asasi manusia, setidaknya ada beberapa elemen yang dapat diukur dalam menjalankan mekanisme pemulihan atas sebuah peristiwa pelanggaran HAM, antara lain restitusi, rehabilitasi, kompensasi, kepuasan, dan jaminan ketidakberulangan.

Selama enam bulan, KontraS mengunjungi komunitas minoritas keagamaan yang pernah mengalami tindak kekerasan, baik dari ormas tertentu ataupun antara ormas dengan kepolisian, atas nama keyakinan. Kami melihat bahwa pelanggaran kebebasan beragama, berkeyakinan, dan beribadah tidak mendapat ruang perbaikan yang nyata dari negara. Guna mendiskusikan lebih lanjut mengenai kewajiban negara untuk memberikan hak atas pemulihan kepada kelompok minoritas agama sebagai salah satu prinsip pemenuhan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, KontraS membuat laporan riset dengan tajuk “Meninjau Pemulihan Negara atas Pelanggaran Kebebasan Beragama, Beribadah, dan Berkeyakinan.”

[1] Lihat: https://www.lowyinstitute.org/publications/man-contradictions-joko-widodo-and-struggle-remake-indonesia

 

Klik disini untuk bacaan selengkapnya