Pelanggaran HAM di Balik Pemindahan Ibu Kota Baru

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan menyoroti langkah pemerintah yang memaksakan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Penajam Paser, Kalimantan Timur. Sebab jangka waktu pembahasan Undang-Undang IKN dijalankan kurang dari dua bulan. Padahal pemindahan ibu kota tentu bukan masalah sepele dan remeh.

Kami juga menyayangkan bahwa pembangunan mega proyek IKN ini belum menjadi diskursus publik karena sejauh ini masih diwarnai oleh narasi tunggal negara sehingga berakibat pada ketidakberimbangan narasi. Belum lagi pembahasannya yang dilakukan secara tertutup dan dan jauh dari akuntabilitas publik.  Masyarakat begitu sulit mengakses informasi secara pasti karena terbatasnya sumber dan kanal pemberitahuan. Kami menganggap bahwa keputusan memindahkan ibukota dimulai dari pembuatan naskah UU IKN begitu jauh dari semangat good governance dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

Selain itu, kami juga mencium aroma conflict of interest  yang sangat kental dalam proses pembangunan IKN ini. Sejumlah nama disinyalir akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar seiring dengan jalannya laju pembangunan di Penajam Paser, sebab terdapat beberapa konsesi lahan milik sejumlah orang yang merupakan bagian dari kekuasaan. Hal ini yang menjadi indikasi kuat bahwa pembangunan Ibu Kota tidak murni untuk kepentingan rakyat, tetapi pundi-pundi keuntungan akan mengalir deras ke kantung pengusaha, lebih spesifik orang sekeliling istana.

Terancamnya lingkungan hidup yang baik dan sehat juga menjadi hal vital dalam pembahasan pembangunan IKN. Saat permasalahan lingkungan hidup di Kalimantan yang belum selesai dihantui dampak buruk dari pertambangan, ambisi mega proyek IKN hanya akan memindahkan masalah lingkungan yang terjadi di Jakarta ke Kalimantan. Pemerintah seharusnya bertanggung jawab terlebih dahulu dengan membenahi permasalahan lingkungan yang ada atas resiko dari diberikannya izin pertambangan bagi sejumlah korporasi. Nihilnya perhatian Pemerintah untuk melakukan pengawasan hingga pemulihan atas lingkungan di Kalimantan tentu menimbulkan potensi diabaikannya pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam pembangunan IKN.

Lebih jauh, pembangunan IKN hari ini yang tentu akan memakan biaya yang besar belum memiliki urgensi yang signifikan, sebab Indonesia masih harus mengedepankan pemulihan ekonomi pasca COVID-19 dibandingkan menghamburkan uang untuk memenuhi hasrat Presiden untuk meninggalkan legacy politik di 2024.

Atas dasar uraian di atas KontraS mendesak berbagai pihak untuk:

Pertama, Presiden Republik Indonesia untuk mengevaluasi secara serius pembangunan IKN yang terburu-buru, dan tidak terencana secara baik, serta nihil memperhatikan pemenuhan hak asasi manusia;

Kedua, Presiden Republik Indonesia bersama dengan Bappenas untuk menunda pelaksanaan pembangunan IKN,melakukan kajian secara menyeluruh terkait dengan dampak dari pemindahan IKN, serta memperhatikan dampak serta potensi pelanggaran HAM dan kerusakan ekologis dalam proses pembangunan IKN.

Ketiga, Lembaga pengawas seperti Komnas HAM, KPK, dan Ombudsman untuk secara aktif melakukan pengawasan atas berbagai kebijakan maupun keputusan  dalam proses pembangunan IKN sesuai prinsip clean and good governance

Jakarta, 4 Maret 2022
Badan Pekerja KontraS,

 


Fatia Maulidiyanti
Koordinator

Narahubung : 082122031647

Klik disini untuk melihat selengkapnya