Kwitangologi #XII : Merdeka ?

Halo Warga,

KontraS kembali mengeluarkan Zine Kwitangologi yang sampai saat ini sudah sampai pada edisi ke-12. Tingginya minat dan juga ketertarikan dari anak muda dalam menyambut kehadiran Zine Kwitangologi, membuat kami terus mengupayakan bentuk penyebaran informasi, berita dan perkembangan soal situasi Hak Asasi Manusia dengan format yang lebih populer serta ringan namun tidak mengurangi isi dan muatan penting dalam isu-isu HAM serta sosial politik di Indonesia. Mengutip Subcomandante Marcos bahwa “Kata- kata adalah Senjata”, kami terus berharap bahwa kata-kata yang tersusun dalam Zine ini bisa menjadi pencerah dan alasan untuk terus mempertanyakan kondisi tentang ketidakadilan yang konon katanya tidak pernah ada di negara Indonesia Konoha. Tema yang kami usung untuk edisi kali ini adalah Kemerdekaan dengan mengambil judul “Merdeka?”. Pertanyaan ini merupakan sebuah upaya untuk melakukan stimulasi perenungan secara aposteriori tentang kemerdekaan yang selalu ditekankan secara sempit sebatas nasionalisme dan heroisme pejuang kemerdekaan. Padahal, kemerdekaan adalah sebuah konsep yang lebih jauh membahas keadilan, kesejahteraan, perlawanan terhadap penindasan dan penjajahan serta kemanusiaan yang lebih baik dan setara. Konsep merdeka yang cupet tidak pernah mau membahas permasalahan ketidakadilan dalam kerangka kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan negara. Penyintas dan keluarga korban Penyintas dan keluarga korban Pendahuluan 1965-1966, Penembakan Misterius, Talangsari Lampung, Tanjung Priok, Peristiwa Mei 1998, Penghilangan Orang secara Paksa, Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, DOM dan DM Aceh, serta kekerasan di Papua mungkin akan bersepakat bahwa belum merasakan kemerdekaan karena masih absennya keadilan dan kebenaran untuk kasus-kasus mereka. Masyarakat Papua belum mendapatkan kemerdekaan untuk bebas dari rasa ketakutan, rasisme dan diskriminasi kebijakan politik, ekonomi dan sosial karena masih terus digempur dengan narasi-narasi manipulatif yang terus dikeluarkan oleh Pemerintah dan juga pendekatan militeristik yang rawan akan pola kekerasan. Konsep kemerdekaan juga belum dirasakan oleh para keluarga korban Tragedi Kanjuruhan yang hari ini terus berjuang dalam pengungkapan kebenaran dan akses keadilan untuk para keluarga dan sahabat yang menjadi korban kekerasan. Tidak ada kemerdekaan yang dirasakan oleh warga yang kritis dalam mendorong perbaikan negara. Saiful Mahdi, Baiq Nuril, Fatia Maulidiyanti, Haris Azhar, Bima, Dandhy Laksono, Ravio Patra, Ananda Badudu, Muhammad Arsyad, Budi Pego dan banyak lagi korban “perampasan” kemerdekaan berpendapat”. Konsep kemerdekaan juga jauh bagi orang-orang yang memperjuangkan ruang hidupnya, para petani di Kendeng, Warga Pancoran Buntu, Warga Rumpin, para petani di Urut Sewu, Warga Dago Elos dan Tamansari di Bandung, Warga Wadas, Warga Tambak Bayan dan Waduk Sepat di Surabaya, Warga Sangihe, Warga pulau Obi, Masyarakat Adat Tobelo. Warga sekalian, refleksi yang menghantarkan narasi tentang kemerdekaan harus kita kembalikan dalam level yang paling mendasar bahwa Kemerdekaan artinya bebas dari ketakutan, penindasan, kekerasan dan pembungkaman agar dia dapat dimaknai lebih khidmat sebagai sebuah usaha suci untuk melawan ketidakadilan, bukan hanya menjadi slogan kosong yang penuh selebrasi dan puja puji namun lupa menghadirkan sisi kemanusiaan yang hakiki. Jakarta, 17 Agustus 2023

Klik disini untuk melihat dokumen selengkapnya