POLRI, Hentikan Rekayasa Kasus!
KontraS meminta Polri dan jajaran penegak hukum lainnya, untuk segera mengambil tindakan-tindakan yang signifikan dan progressif untuk mencegah dan memulihkan kasus-kasus demi kasus yang direkayasa. Putusan MA [Mahkamah Agung] akhir-akhir ini menunjukan bahwa aparat penegak hukum dalam hal ini Polisi dalam melakukan penyidikan masih mengandalkan pengakuan korban atau pelaku dengan cara-cara penyiksaan dan penyalahgunaan diskresi. Dari berbagai kasus yang diterima KontraS [lihat lampiran] ada banyak petunjuk dan keterangan korban bahwa proses hukum di kepolisian tidak dilakukan secara profesional, dimana ada praktek penyiksaan, ada proses hukum yang tidak diimbangi dengan bukti yang menyakinkan serta tidak ada informasi yang diberikan secara baik ke [keluarga] korban maupun keluarga korban.
Kami berkesimpulan bahwa kewenangan “penegak hukum” yang dimiliki oleh Polisi sering dijadikan alat yang mudah dan ampuh untuk menarget atau menjadikan seseorang sebagai pesakitan dimata hukum.
Berdasarkan hasil monitoring dan pengaduan yang diterima Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS], kami menemukan sejumlah hal yang kerap terjadi dalam rekayasa kasus;
Secara umum tindak pidana yang rentan di jadikan justifikasi untuk kriminalisasi atau rekayasa kasus diantaranya pencurian, kepemilikan, penguasaan atau penyalahgunan narkotika, pembunuhan, penyerobotan dan pengrusakan.
Sementara itu, latar belakang “kelas” sosial masyarakat juga menjadi bagian penentu potensi terjadinya rekayasa kasus dan/atau kriminalisasi terhadap seseorang. Terdapat tiga kategori, pertama, masyarakat miskin, tidak punya atau tidak bisa mendapatkan informasi, akan dengan mudah menjadi sasaran rekayasa kasus alis dikriminalkan. Kedua, adalah kelas menengah, jika punya punya cukup, bisa mendapatkan informasi [akses lawyer] tapi tidak punya atau bertentangan dengan jaringan “kekuasaan” maka tetap punya potensi terkena rekayasa kasus, dengan sedikit kemungkinan bisa kena pemerasan [kasus Sun Ang]. Ketiga, kelas pertama, masyarakat tidak selalu punya kemampuan mencari informasi [tidak melek hukum] tapi punya uang cukup dan punya akses kekuasaan, justru menjadi kelas yang dilayani oleh penegak hukum.
Kriminalisasi dan absennya pemulihan korban; kriminalisasi terjadi dengan banyak faktor, diantaranya minimnya skill pembuktian sebuah kasus kejahatan sehingga menyebabkan terjadinya salah tangkap yang berujung dengan kriminalisasi terhadap warga masyarakat yang tidak bersalah. Kriminalisasi juga terjadi karena tidak maksimalnya atau minimnya independensi Polisi, sehingga dengan mudah relasi desakan pihak – pihak tertentu yang memiliki “power” tertentu dapat ditindaklanjuti Polisi. Dan jikapun, korban tidak terbukti bersalah di Pengadilan, Polisi tidak memiliki inisiatif yang kuat untuk terlibat aktif dalam pemulihan hak – hak korban [lihat contoh kasus Syamsul Arifin, kasus Markus Amtiran]
Mekanisme koreksi eksternal cenderung tidak berfungsi [Kompolnas dan Komnas HAM]. Dalam hal ini terdapat sejumlah pengaduan masyarakat yang tidak dapat direspon secara kritis oleh institusi tersebut. Respon yang diberikan hanya bersifat akomodatif dan normatif.
Menolak Bersalah alias tertutup; penghukuman terhadap anggota-anggota yang melakukan praktik-praktik kriminalisasi/rekayasa kasus tidak dianggap sebagai suatu tindak kejahatan pidana, hal ini merujuk beberapa statmen pihak kepolisian yang cenderung melindungi anggota dan institusinya. Pimpinan Polri sering memilih bertempur dimedia untuk menyatakan anggotanya tidak bersalah daripada memaksimalkan tenaga dan usahanya untuk menempuh mekanisme koreksi menguji dugaan rekayasa yang ada. [lihat contoh kasus kematian Aslim Zalim ditahanan Polres Baubau yang direndam aparat kepolisian]
Berdasarkan pada pemaparan persoalan diatas, KontraS mendesak:
Pertama, Meminta Presiden, DPR RI dan Institusi penegak hukum lainnya untuk secara serius memeriksa aturan, kapasitas individual penegak hukum dan mekanisme koreksi yang potensi digunakan untuk memeriksa dugaan rekayasa kasus.
Kedua, Polri mengedepankan akuntabilitas dan keterbukaan institusi dengan melakukan penuntutan dan penghukuman terhadap anggota polisi yang melakukan tindakan – tindakan tersebut diatas.
Kedua, DPR memaksimalkan fungsi pengawasan terhadap kinerja Polri dan Kompolnas, khususnya dalam persoalan 8 pola sebagaimana disebutkan diatas.
Jakarta 12 Januari 2013
Badan Pekerja, KontraS
Yati Andriyani, Kadiv Advokasi dan HAM
Arif Nur Fikri, Staf Advokasi dan HAM
Lampiran : DATA PENGADUAN REKAYASA KASUS (KRIMINALISASI) 2012 – 2013