Merespon agenda konferensi pers yang dilakukan oleh Mabes TNI dalam hal ini diwakili Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen), Mayjen TNI Dr Nugraha Gumilar, Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) XVII Cenderawasih dan Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat (Kadispenad), Brigjen TNI Kristomei Sianturi terkait penyiksaan yang dilakukan oleh 13 anggota TNI dari kesatuan Batalyon Infanteri Raider 300/Braja Wijaya di Kabupaten Puncak, Papua. Menyikapi agenda tersebut, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memberikan respon dan juga catatan yang kami lampirkan dalam rilis.

KontraS mengecam keras pernyataan klarifikasi yang disampaikan oleh pihak Markas Besar TNI yang disampaikan pada tanggal 25 Maret 2024, karena terkesan abai terhadap permasalahan utama dari kondisi yang terjadi di Papua. Pelbagai peristiwa kekerasan di Papua yang mengakibatkan banyaknya korban jiwa baik dari kalangan masyarakat sipil, OPM dan aparat negara merupakan rentetan dari kebijakan Operasi Militer yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia. Terlebih, kasus penyiksaan yang dilakukan oleh 13 anggota TNI kepada warga sipil terjadi dalam masa awal kepemimpinan Panglima TNI, Agus Subiyanto yang menekankan pentingnya sebuah kebijakan pendekatan diplomatis untuk mengurangi kekerasan di Papua. Situasi ini menjadi sangat kontradiktif dengan situasi kekerasan yang terjadi dalam 2 bulan terakhir. KontraS mencatat sebanyak telah terjadi 8 peristiwa penyiksaan medio Januari hingga 25 Maret 2024.

Kami mencatat setidaknya terdapat lima point yang perlu kami tekankan, yaitu:

Pertama, pengakuan Pangdam XVII/Cenderawasih atas peristiwa penyiksaan yang dilakukan oleh anggota kesatuan Yonif 300 Raider/Braja Wijaya. Dalam pernyataannya terdapat motif para pelaku melakukan tindak penyiksaan tersebut bertujuan untuk melakukan interogasi dikarenakan para korban diduga terlibat dalam gerakan TPNPB-OPM. Kami mengecam pernyataan tersebut karena hal ini merupakan bentuk legitimasi terhadap tindak penyiksaan yang dilakukan oleh pihak TNI. Kami menilai sekalipun seseorang dituduh melakukan tindak pidana harus mengutamakan pendekatan sistem peradilan pidana (criminal justice system) dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) standar dan prinsip hak atas peradilan yang adil (fair trial).

Kedua, tidak adanya pengawasan yang ketat membuat tindakan yang dilakukan oleh aparat militer keluar dari kewenangannya. Merujuk kepada tugas yang diberikan kepada pasukan Yonif 300 Raider/BJ, sejatinya mereka ditugaskan untuk melaksanakan operasi Pengamanan Perbatasan (Pamtas) di wilayah perbatasan Republik Indonesia-Papua New Guinea. Sehingga, pernyataan yang disampaikan oleh Pangdam Cenderawasih menjadi kontradiktif dengan tugas yang diberikan Yonif 300 Raider/BJ.

Ketiga, peristiwa penyiksaan yang terjadi juga kian menebalkan persepsi ‘kentalnya’ kultur kekerasan pada institusi TNI, khususnya aparat yang bertugas di Papua. Lewat keterangannya, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat, Kristomei Sianturi menyebutkan bahwa penyiksaan dilakukan atas dasar informasi masyarakat yang tersebar bahwa akan ada serangan berupa pembakaran Puskesmas sehingga terjadi penangkapan terhadap korban tersebut. Padahal, dalam keadaan apapun tindakan penyiksaan tidak dapat dibenarkan, sebab masuk dalam kategori non-derogable rights berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

Keempat, TNI terkesan menutupi fakta dan menggeser fokus permasalahan utama dengan membangun narasi yang di luar konteks kasus. Hal tersebut terlihat dari ucapan yang menyebut bahwa kesatuan yang melakukan penyiksaan ini sebetulnya telah bertugas dengan baik dibuktikan dengan berbagai prestasi yang diraih misalnya dari Suku Asmat dan Bupati Kabupaten Puncak.

Kelima, petinggi militer di Papua kerap tidak berhati-hati dalam memberikan pernyataan ke publik ketika merespon peristiwa kekerasan yang dilakukan anggotanya terhadap warga sipil. Pola atau gaya komunikasi publik demikian menunjukan tidak profesionalnya petinggi Militer yang memberikan pernyataan tanpa basis data.

Situasi ini akan semakin sering terjadi apabila tidak ada evaluasi menyeluruh dan akuntabel terhadap kebijakan operasi militer yang dilakukan di Papua selama ini. Dan, pemerintah sebagai pemegang kewajiban (duty bearer) dalam konteks perlindungan Hak Asasi Manusia perlu untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas pertanggungjawaban kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua sesuai dengan amanat konstitusi dan sejumlah norma peraturan yang berlaku kepada para pelaku sebagai sebuah upaya untuk menegakkan supremasi hukum di Indonesia.

Atas dasar uraian di atas, kami mendesak :

Pertama, Presiden Republik Indonesia untuk mengevaluasi total kebijakan keamanan yang selama ini diberlakukan dalam menyelesaikan konflik di Papua. Pemerintah secara perlahan harus Selain itu, pemerintah pun harus memperjelas status daerah operasi di Papua, sebab kejelasan mengenai status keamanan menjadi penting guna mengukur operasi yang diberlakukan, sebab selama ini militer kerap terlibat secara eksesif dalam langkah-langkah pengamanan dan penegakan hukum.

Kedua, Panglima TNI untuk melakukan evaluasi total penempatan anggota TNI dan kesatuan militer di Papua. Seiring dengan proses hukum yang berjalan, TNI harus bersifat terbuka dan melakukan update secara berkala terkait proses hukum yang berjalan. Selain itu, Panglima TNI beserta jajarannya pun harus memperketat pengawasan dan supervisi terhadap bawahan, terlebih yang langsung berinteraksi langsung dengan warga sipil di Papua. Adapun prajurit  harus dipastikan memahami seluruh prosedur tetap, SOP dan nilai-nilai hak asasi manusia agar kejadian kekerasan serupa tidak terulang di masa mendatang;

Ketiga, Komnas HAM untuk melakukan tindakan proaktif dengan menurunkan tim investigasi terkait pelanggaran HAM yang terjadi sesuai kewenangannya dan memperhatikan aspek keadilan bagi para korban;

Keempat, LPSK untuk melakukan tindakan responsif dengan memberikan pelayanan perlindungan bagi para korban.

Jakarta, 27 Maret 2024
Badan Pekerja KontraS

Dimas Bagus Arya, S.H
Koordinator

Narahubung: 0896 5158 1587

klik disini untuk melihat dokumen selengkapnya

Maret 27, 2024

Proses Hukum Pelaku Penyiksaan Tentu Tidak Cukup, Evaluasi Total Seluruh Penempatan Aparat dan Akhiri Pendekatan Keamanan di Tanah Papua!

Merespon agenda konferensi […]
Maret 25, 2024

Hentikan Proyek Living Park di Atas Reruntuhan Rumoh Geudong: Temuan Tulang Belulang Manusia Mencerminkan Minimnya Penanganan Sensitif dan Bermartabat Bagi Korban Pelanggaran HAM di Aceh

25 Maret 2024 […]
Maret 25, 2024

Cabut Keputusan Presiden Pangkat Jenderal Kehormatan dan Penuhi Hak Korban

Sehari berselang setelah […]
Maret 25, 2024

Tanggapan Putusan Banding Keempat Polisi dalam Penyiksaan OK: Kaburnya Keadilan Bagi Korban!

Tim Advokasi Untuk […]
Maret 23, 2024

Selidiki Penyiksaan Terhadap OAP dan Seret Pelakunya ke Pengadilan

Jakarta, 23 Maret […]
Maret 23, 2024

Penyelidikan Pro Justitia Pelanggaran HAM Berat Berjalan: Segera Tuntaskan Kasus Pembunuhan Munir Secara Transparan dan Bertanggung Jawab!

Pada tanggal 11 […]
Maret 22, 2024

Penyerahan Catatan Kritis Terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara

Pada hari Jumat […]
Maret 22, 2024

Disrupsi Supremasi Sipil di Indonesia: Dampak dan Resiko Penempatan TNI-Polri di Jabatan Aparatur Sipil Negara untuk Demokrasi

Upaya pemerintah dalam […]
Maret 22, 2024

Ramadhan for Human Rights 2024: Mendorong Kepedulian, Melawan Ketidakadilan

Komisi untuk Orang […]
Maret 21, 2024

Koalisi Nasional Save Karimunjawa Desak Bebaskan Daniel dari Segala Tuntutan

Selasa, 19 Maret […]