Brutalitas Anggota POLRI Terhadap Warga Toboko, Ternate dalam Peristiwa Penyelesaian Konflik di Masyarakat
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) telah melakukan investigasi mendalam terkait dengan peristiwa brutalitas anggota Polres Ternate dan Brimob Polda Maluku Utara terhadap warga Kelurahan Toboko yang terjadi pada tanggal 10 – 11 Januari 2016 silam pasca terjadinya bentrokan antar warga di hari yang sama. Akibat dari peristiwa tersebut setidaknya 2 (dua) orang warga tewas akibat luka tembak dan ditabrak serta diseret oleh truk milik anggota kepolisian, sementara 2 (dua) orang warga mengalami luka tembak dan 1 (satu) orang warga lainnya mengalami luka akibat ditabrak truk Polri.
Berdasarkan hasil temuan KontraS di lapangan, kami menemukan sejumlah fakta – fakta terkait dengan peristiwa penyerangan terhadap warga dengan penggunaan kekuatan yang berlebihan serta penyalahgunaan Standard Operational Procedure [SOP] yang dilakukan oleh anggota Polres Ternate dan Brimob Polda Maluku Utara di lapangan pada peristiwa tanggal 10 – 11 Januari 2015, antara lain:
Terhadap fakta-fakta di atas, kami dapat menyimpulkan bahwa :
Pertama, 2 (dua) peristiwa penembakan dan penabrakan yang dilakukan oleh anggota Polres Ternate pada tanggal 10 Januari 2016 di Jalan Kayu Buah (TKP I) maupun Jalan Baru (TKP II) bukan merupakan bagian dari tindakan pengamanan dan pengendalian terhadap massa. Hal ini dikarenakan peristiwa penembakan dan penabrakan dilakukan justru setelah peristiwa tawuran antara warga Kelurahan Kota Baru dan Kelurahan Toboko berakhir, hal ini merupakan tindakan diluar prosedur sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Ayat 2 huruf a Peraturan Kapolri Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian bahwa “Tujuan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian adalah: a. mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka yang sedang berupaya atau sedang melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum” serta Pasal 5 ayat (1) “tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang seharunya cukup dengan huruf a. Tahap I: kekuatan yang memiliki dampak deterrent/pencegahan” menginggat berdasatkan keterangan saksi mata dilapangan bahwa kondisi ketika anggota tiba dilapangan peristiwa tawuran antar warga telah berakhir;
Kedua, peristiwa yang terjadi pada tanggal 11 Januari 2016 menunjukkan bahwa peristiwa penyerangan terhadap warga diikuti dengan pengrusakan fasilitas milik warga oleh anggota Polri bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan kejahatan sistematis yang dilakukan oleh Negara, yang dalam hal ini adalah pihak Polri. Hal ini dapat diukur dari adanya pengerahan pasukan yang diterjunkan ke Kelurahan Toboko sebelum akhirnya pasukan tersebut menembakkan gas air mata yang diikuti dengan penembakan dengan peluru tajam dan karet yang diarahkan langsung ke arah warga. Bahwa tindakan Dalmas Polres Ternate tersebut merupakan tindakan di luar prosedur dalam melakukan pengendalian terhadap massa, mengingat menurut Pasal 7 Ayat 1 Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa dinyatakan “Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d adalah: a. bersikap arogan dan terpancing oleh perilaku massa, d. membawa senjata tajam dan peluru tajam, dan h. melakukan perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan”; Dan
Ketiga, Adanya upaya untuk menghindari tanggungjawab dan menutupi fakta-fakta yang terjadi di lapangan dengan hanya membebankan status tersangka terhadap pelaku lapangan, dalam hal ini Aiptu Munir Sangaji selaku Kasat Dalmas Ternate tanpa adanya pertanggungjawaban komando dari atasannya, yaitu Kapolres Ternate Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Kamal Bachtiar yang seharusnya ikut bertanggung jawab selaku pimpinan karena memiliki tugas pokok memimpin, membina dan mengawasi atau mengendalikan satuan – satuan organisasi dalam lingkungan Polres, mengingat bahwa berdasarkan fakta – fakta diatas tidak lepas dari fungsi pengawasan Kapolres sebagai pimpinan di wilayah kota Ternate. Selain itu, upaya untuk menghindari tanggungjawab dan menutupi fakta-fakta juga terbukti dengan diterapkannya Pasal maupun Undang – Undang tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk menjerat pelaku lapangan yang dilakukan tanpa memasukkan unsur pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam proses penyidikan.
Untuk itu, KontraS mendesak agar:
Pertama, Kapolri harus melakukan evaluasi dan pengawasan yang ketat terhadap setiap anggotanya di lapangan dalam hal penggunaan kekuatan, khususnya penggunaan senjata api, dan tidak mentolerir tindakan – tindakan anggotanya yang menggunakan kekuatan secara berlebihan dan tidak sesuai dengan prinsip proposionalitas. Kapolri juga harus melakukan pemeriksaan dan audit senjata api dan amunisi secara berkala yang digunakan oleh anggotanya di lapangan sebagai bentuk tindakan preventif atas peristiwa lainnya yang dapat terjadi ke depan;
Kedua, Kapolda Maluku Utara harus melakukan penindakan terhadap Kapolres Ternate, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Kamal Bachtiar sebagai bentuk pertanggungjawaban komando dan akuntabilitas institusi kepolisian atas tindakan anak buahnya yang telah melakukan penyalahgunaan Standard Operational Procedure [SOP] dan penggunaan kekuatan yang berlebih dalam menindak tawuran antar warga di Ternate pada tanggal 10 – 11 Januari 2016 sehingga mengakibatkan 2 (dua) orang warga tewas di lokasi kejadian, 3 (tiga) orang lainnya mengalami luka – luka dan 4 (empat) orang warga lainnya ditangkap dan ditahan secara sewenang – wenang serta banyaknya kerusakan fasilitas milik warga Kelurahan Toboko akibat dilakukan penyisiran;
Ketiga, Lembaga Pengawas Eksternal seperti Kompolnas, Komnas HAM dan Ombudsman RI agar secara aktif melakukan pemanggilan dan pemeriksaan (tidak hanya sebatas klarifikasi) maupun tindakan lainnya sesuai dengan tugas dan wewenangnya terhadap Kapolres Ternate maupun anggotanya yang bertanggungjawab atas peristiwa brutalitas terhadap warga Kelurahan Toboko;
Keempat, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan pendampingan dalam keseluruhan proses pemeriksaan terhadap warga kelurahan Toboko yang menjadi saksi peristiwa. LPSK juga harus mengupayakan agar korban dan keluarga korban juga dapat mengakses bantuan medis dan restitusi dari para pelaku.
Jakarta, 26 Januari 2016
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS]
Lembaga Bantuan Hukum [LBH] Maluku Utara
Narahubung :
Arif Nur Fikri [KontraS] – 081513190363, Maharani [LBH Maluku Utara] – 081341268806