Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] mengecam tindakan pembubaran demonstrasi pelajar dan warga di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua Senin (23/9/2019) yang menimbulkan korban jiwa atas nama penggunaan kekuatan yang berlebihan, baik yang dilakukan oleh Brimob maupun TNI, serta pihak lain yang represif terhadap masyarakat Papua.

Dalam menangani permasalahan di Papua belakangan ini, negara nampak kikuk dalam mengambil langkah konkret. Pendekatan keamanan dan pembatasan akses informasi yang dilakukan beberapa waktu lalu pada sejumlah daerah di Papua nyatanya tidak menjawab persoalan. Peristiwa yang terjadi di Wamena menjadi ironis ketika mengingat ucapan Presiden Joko Widodo untuk saling memaafkan yang kemudian melanjutkannya dengan menambah pasukan Brimob dan TNI di Papua. Kerusuhan yang mengakibatkan korban jiwa terus terjadi.

Berdasarkan informasi yang kami dapatkan dari jaringan KontraS di Wamena, Papua Barat, aksi massa yang dilaksanakan pada hari senin, 23 September 2019 berujung pada ratusan siswa SMA PGRI melakukan aksi mogok sekolah dan turun ke jalan pada hari senin. Selain melakukan aksi, para siswa SMA juga mengajak siswa-siswi dari sekolah lain untuk turut melakukan aksi massa. Pada aksi ini, ada kelompok selain massa aksi yang melakukan pembakaran terhadap beberapa bangunan seperti pertokoan dan Kantor Bupati. Dilansir dari pemberitaan Jubi.co.id,[1] seorang saksi mengatakan bahwa saat aksi sedang berlangsung pihak keamanan berkali-kali mengeluarkan gas air mata dan tembakan peringatan yang memprovokasi massa aksi menjadi rusuh.  Sampai pagi ini (24/9), korban tewas dalam peristiwa kerusuhan ini sudah mencapai 22 orang. Jaringan kami di Wamena juga mengkonfirmasi bahwa salah seorang korban yang tewas terlihat memiliki luka tembak di tubuhnya.

Selain itu, Kementerian Komunikasi dan Informasi telah melakukan pembatasan layanan data di Wamena pada Senin, 23 September 2019 Pukul 19.00 WIB (Siaran Pers No. 187/HM/KOMINFO/09/2019). Dalih yang digunakan oleh Kemenkominfo tidak jauh berbeda dengan pembatasan akses layanan data yang diterapkan sebelumnya yaitu untuk mempercepat proses pemulihan situasi keamanan dan ketertiban di wilayah Kabupaten Wamena. Alih-alih membangun rasa percaya rakyat Papua atas langkah dan keberpihakan pemerintah pada rakyat papua, sebaliknya justru semakin menunjukkan adanya kesewenangan yang dilakukan oleh negara karena tidak memiliki ukuran dan parameter yang jelas mengenai pembatasan layanan data di Papua. Sementara tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya belum jelas penegakan hukumnya, penyelesaian pelanggaran HAM belum tuntas, pemulihan hak hak dan rencana penyelesaian persoalan Papua yang menyeluruh belum juga ditunjukkan oleh negara, yang keluar justru kebijakan pembatasan akses informasi.

Penyelesaian persoalan di Papua akan semakin jauh dari solusi dan gagal apabila pendekatan yang dilakukan justru menyebabkan jatuhnya korban terus menerus, penangkapan dan penahanan yang massif terhadap aktivis Papua terus dilakukan dan akses informasi dibatasi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, KontraS mendesak beberapa hal, di antaranya:

Pertama, Presiden Joko Widodo untuk menghentikan pendekatan keamanan yang dilakukan oleh TNI dan Polri. KontraS mendesak untuk segera menarik mundur aparat bersenjata yang berada di Tanah Papua.

Kedua, Polri harus memastikan untuk melakukan tugasnya dengan tidak menggunakan kekuatan secara berlebihan, tidak menggunakan diskresi secara serampangan dgn tidak menggunakan hukum untuk melakukan penangkapan dan penahahan yang berujung pada kriminalisasi bagi aktivis Papua dan Orang Asli Papua

Ketiga, Kemenkominfo untuk segera membuka akses informasi di Wamena. Perihal pembatasan akses informasi tidak sama sekali menjawab persoalan yang terjadi di Papua atas alasan apapun. Informasi yang publik terima hanya sepihak dari negara, sementara besar kemungkinan ada informasi mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi namun tidak mendapat pemberitaan dari media.

Keempat, Buka segera dialog yang setara, terbuka dengan semua pihak.  Semua itu dilakukan agar solusi penyelesaian Papua tetap dalam koridor demokrasi dan hak asasi manusia, sekaligus mencegah meluasnya kekerasan dan jatuhnya korban dari pihak manapun.

Kelima, Polri juga harus harus membebaskan semua tahanan politik Papua yang saat ini telah dijadikan tersangka.

Jakarta, 24 September 2019
Badan Pekerja KontraS

 

 Yati Andriyani
Koordinator

 

[1] https://www.jubi.co.id/saksi-perusakan-dan-pembakaran-bangunan-di-wamena-karena-terprovokasi-tembakan-senjata/ diakses pada tanggal 24 September 2019

September 24, 2019

Pendekatan Keamanan Hanya Menambah Masalah di Papua!

Komisi Untuk Orang […]
September 24, 2019

Peringatan Hari Anti Penghilangan Paksa Sedunia 2019 “21 Tahun, Lalu Apa?”

Pada tanggal 30 […]
September 23, 2019

Diskusi Publik: Menelaah Ketentuan Pelanggaran HAM Berat dan Tindak Pidana Penyiksaan dalam RKUHP

Pada hari Rabu, […]
September 17, 2019

Asap Dan Residu Hak Asasi: Jauhnya Pertanggungjawaban Negara Untuk Menghukum Perusahaan Pembakar Hutan Dan Melindungi Hak-Hak Dasar Warga Indonesia

Kebakaran hutan yang […]
September 16, 2019

Indonesia Darurat Asap, Presiden Segeralah Bertindak!

SURAT TERBUKA MASYARAKAT […]
September 16, 2019

Peringatan Untuk Seluruh Rakyat: Demokrasi Indonesia Sedang Di Ujung Tanduk!

Tanggal 15 September […]
September 13, 2019

Bebaskan semua tahanan politik Papua dan Wujudkan Perdamaian di Papua berdasarkan mandat Undang undang Otonomi Khusus Papua

Merespon perkembangan terbaru […]
September 12, 2019

Siaran Pers Bersama 35 Tahun Peristiwa Tanjung Priok, Keadilan Tak Kunjung Datang

Tepat pada hari […]
September 11, 2019

15 Tahun Pembunuhan Munir “Membongkar Pemufakatan Jahat Pembunuhan Berencana Terhadap Munir”

Pada hari Sabtu, […]
September 10, 2019

Tanggapan KontraS atas Permintaan Kenaikan Anggaran Kejaksaan Agung “Tambah Anggaran, Minim Kerjaan”

Komisi untuk Orang […]